Lihat ke Halaman Asli

Trisno Mais

Skeptis terhadap kekuasaan

Politik Gaya Yudas Iskariot

Diperbarui: 30 Oktober 2017   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Trisno Mais, SAP, Mahasiswa Pascasarjana Unsrat 

DARI dulu stigma negatif tentang Yudas telah tertanam di kalangan umat nasrani. Di mana kejatuhan Yudas adalah uang; Yudas menjual Yesus (Gurunya) seharga 30 keping uang perak. Jika kita kaitkan dengan ayat yang tertulis dalam Alkitab mengenai Yudas, seringkali meyakinkan hal itu (bdk. Mat. 26:8,9 dan Yoh. 12:6). Dengan demikian, asumsi kita menempatkan Yudas sebagai orang yang serakah dan cinta uang (apalagi diketahui bahwa Yudas adalah seorang murid Yesus yang berperan sebagai bendahara dalam komunitas Yesus). Busa disimpulan bahwa Yudas menjual karena faktor uang.

Coba estimasi berapa rupiah uang yang didapat Yudas. Dalam Dake’s Bible digambarkan bahwa uang sebesar 30 keping uang perak sama nilainya dengan 19,20 dolar Amerika. Misalkanlah saat ini kita bulatkan saja, kurs 1 dolar Amerika seharga Rp. 10.000,oo. Berarti “harga” Yesus kurang lebih adalah Rp. 192.000,oo. Sepertinya angka tersebut bukan menjadi angka yang bombastis. Oleh sebab itu, saya berkesimpulan bukan uang yang menjadi faktor utama Yudas menjual Yesus. Apalagi dalam kisah selanjutnya dikatakan bahwa Yudas mengembalikan uang itu kepada para Imam.

Lantas pertanyaannya, kira-kira apa yang menjadi pendorong Yudas untuk menjual Gurunya? Sepertinya harapan Yudas sama dengan orang Yahudi pada umumnya: menjadikan Yesus sebagai pahlawan secara politik dengan cara melawan kekaisaran Romawi. Namun, ketika orang banyak berniat mengangkat-Nya menjadi Raja, Yesus malah mengasingkan diri. Bukan hanya itu, Yesus juga malah mengajar mereka untuk memberikan kepada Kaisar apa yang menjadi haknya.

Makanya mereka berfikir (termasuk Yudas) cara paling mujarab untuk memaksa Yesus melawan adalah dengan menyerahkan Dia kepada para Imam. Ironissnya harapan mereka pun sia-sia. Karena Yesus malah memilih jalan Salib dan bukan melawan; itu sebabnya Yudas menjadi frustrasi dan bunuh diri (Mat. 27:5).

Jauh sebelum itu, ternyata kehadiran Yesus bisa dipandang (kelompok tertentu ) sebagai lawan politik. Sontak dikala Herodes mendengarkan kabar akan kelahiran Yesus di kandang domba. Herodes secara diam - diam merasa terancam. Bahkan dirinya memanggil semua imam kepala dan ahli Taurat bangsa Yahudi berkumpul dan mendiskusikan soal kelahiran Sang Raja Israel. Tak hanya itu, dia menuntut agar ada tindakan; menggali fakta soal informasi yang beredar. Sadar mau pun tidak, itu adalah gambaran dirinya tidak mau kehilangan kekuasaan_ tidak ada raja selain dirinya. Tuannya politis adalah kekuasaan. (Matius 2: 1-18).

Hal ini kemudian menjadi renungan untuk kita mengrefelsikan makna dari semua itu. Pasalnya, kerapkali kita juga “mengkhianati dan menjual” Yesus demi mencapai tujuan kita sendiri, yakni ketika kita memaksakan cara dan kehendak kita sendiri. Tuhan ditempatkan bukan sebagai penguasa hidup kita, melainkan sebagai “person” yang harus mengikuti kemauan kita. Kemahakuasaan Tuhan telah kita ganti dengan keterbatasan Tuhan yang berhadapan dengan kemahakuasaan kita.

Diakui atau tidak, kita seringkali menjadikan Tuhan sebagai objek bagi sesembahan kita. Yang menjadi subjek adalah diri kita sendiri : Yesus harus mengikuti semua keinginan kita dan apabila Dia tidak sesuai dengan keinginan kita, maka Dia bukanlah Yesus yang kita kenal tetapi Yesus yang asing, sehingga Yesus seperti itu harus ditinggalkan dan diganti dengan Yesus yang kita buat sesuai dengan imajinasi dan keinginan kita.

Jangan heran jika dalam pemberitaan - pemberitahuan Alkitab pada saat ini seringkali menjadi batu sandungan bagi manusia. Karena setiap pemberitaan Alkitab mau menggambarkan kebenaran hakiki yang – mungkin – hal itu tidak sependapat dengan kebenaran yang dipikirkan oleh manusia. Sehingga dewasa ini terjadi peperangan antara keinginan Allah yang tertuang dalam Alkitab versus keinginan manusia yang tertuang dalam gaya kehidupan masa kini.

Belum lagi saat ini seringkali ayat-ayat Alkitab 'dimanipulasi' sedemikian rupa untuk membenarkan setiap keinginan manusia. Konon ayat -ayat Alkitab pun dikonversi menjadi alat untuk menghakimi sesama_penghakiman itu sah dan bernilai rohani. Belum lagi kecenderungan gaya-gaya hidup yang “sok suci”, selalu bicara tentang ayat-ayat Alkitab tetapi hati, pikiran, tangan dan kakinya selalu menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan kemanusiaannya.

Manipulasi ayat-ayat Alkitab; semua itu dilegalisasi dengan menggunakan ayat-ayat Alkitab. Bukankah perbuatan serupa pernah dilakukan Yudas? Yang dengan alasan kebenaran, berdasarkan  kehendak Allah, ingin membentuk Yesus seperti yang diinginkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline