Lihat ke Halaman Asli

MUHAMAD ZARKASIH

Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Demonstrasi Omnibus Law: Kehilangan Kata dan Mata

Diperbarui: 11 Maret 2021   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Omnibus Law disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, lalu buruh dan mahasiswa marah. Mereka turun ke jalan, dengan suara dan tujuan yang jelas: batalkan Omnibus Law. Marak sekali gerakan penolakan terhadap UU Ketenaga-kerjaan yang baru itu, hampir di semua tempat, disemua tataran sosial ,buruh ,mahasiswa, akademisi ( guru dan dosen) , praktisi hingga kelompok2 keagamaan di Indonesia. Dari semua aktivitas demo itu kemudian bisa dilihat ada satu fenomena yang kurang mengenakkan bagi semua pihak, yaitu gejala hilangnya kata dan mata. Dan itu merasuki semua elemen: yang mendemo dan yang didemo.

Berpikir secara positif saja, Omnibus Law sejatinya pasti diniatkan untuk menghasilkan sebuah rantai kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak pengusaha dan buruh. DPR pasti tidak pernah berpikir untuk menghasilkan produk hukum yang menguntungkan sebagian rakyatnya, tetapi juga seraya menyakiti sebagian lain rakyatnya. Setiap anggota DPR-RI duduk di Senayan adalah atas suara rakyat yang memilih mereka dan itu terbuka kemungkinan ada buruh dan pengusaha di dalamnya. Tapi sebuah niat baik tentu juga harus melalui mekanisme atau prosedur yang baik pula.

Sebagai wakil rakyat, pertanyaannya kemudian, apakah DPR sudah cukup bicara kepada kelompok manusia yang diwakilinya? Adakah DPR telah secara maksimal menyerap aspirasi rakyat sebelum memutuskan sebuah produk hukum seperti Omnibus Law ini? Benar, tak ada sebuah keputusan yang bisa memuaskan semua pihak, tapi rasa ketidak puasan seharusnya bisa ditekan hingga titik terendah, sehingga tak memunculkan reaksi yang masif dan bahkan keras serta brutal.

Jika DPR telah mengambil sebuah keputusan dengan penyerapan aspirasi yang minim, maka bisalah dikatakan bahwa DPR telah kehilangan kata; kata untuk bicara, kata untuk menerangi sebuah situasi yang gelap. Padahal betapa pentingnya kata itu, karena  kata-kata yang tepat mampu menjalin satu kesepahaman dan pengertian. Ketika para demonstran, terutama buruh, merasa Omnibus Law akan merugikan mereka secara keadilan, maka pada posisi itulah DPR telah kehilangan kata. Seharusnya, manjakanlah kata-kata, dengan membahas produk hukum itu bersama para buruh serta pihak terkait, lalu menyerap aspirasi mereka secara paripurna. Menafikan kata-kata akan punya kecenderungan munculnya konflik diantara dua pihak yang seharusnya bergandengan tangan.

Lalu bagaimana dengan kelompok yang tak puas atas materi Omnibus Law yangg belum tentu sudah membaca dan memahami isinya , yang lalu menumpahkan kekecewaan mereka di jalan lewat gerakan demonstasi?

Demonstrasi sejatinya bukan sebuah aktivitas yang diharamkan di negeri ini. Sebagai negara demokrasi, maka aktivitas demonstrasi pun diberi ruang dan waktu yang cukup oleh negara. Ada aturan hukum yang mengatur bukan saja mekanisme demonstrasi yang berisi tata cara demonstrasi tetapi juga tata nilai etika dan moral yang seharusnya tetap dijunjung tinggi oleh setiap peserta demonstrasi.

Dimana pun setiap gerakan demonstrasi selalu memiliki dampak kurang nyaman bagi sebagian orang, yaitu orang-orang yang berada di luar kepentingan tema yang diusung oleh kegiatan demonstrasi itu. Kemacetan jalan, tersendatnya roda bisnis , ekonomi yg terganggu dan rasa khawatir karena melihat sekumpulan orang berkumpul dan berteriak galak  cenderung brutal. Tapi itu normal saja, bukan sesuatu yang perlu untuk dibesar-besarkan. Yang harus tetap dijaga oleh setiap kegiatan demonstrasi adalah mata; sebagai penentu arah dan kesejatian tujuan.

Pada kegiatan demonstrasi menentang Omnibus Law yang lalu, muncul kejadian yang cenderung bernuansa  kekerasan dan radikal. Hal ini tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan oleh

kelompok2 "busuk / sampah masyarakat", ektrim kiri, ektrim kanan dan ektrim lainnya turut bermain untuk membuat Indonesia menjadi chaos dan hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintahnya.  Dari aksi demo itu menghasilkan banyaknya  aparat keamanan dan demonstran yang terluka, hak pribadi yang jadi korban perusakan, bahkan fasilitas umum pun ikut pula dirusak dan dibakar.

Apakah korelasi antara Omnibus Law ( yg berisi UU ketenaga-kerjaan dan Undang2 lainnya)  dengan halte TransJakarta dan fasilitas umum lainnya ?, Sehingga halte-halte berharga miliaran Rupiah itu yang dibangun dengan uang rakyat harus luluh lantak dibakar oleh massa? Kenapa fasilitas umum seperti ditempatkan pada posisi sebagai bagian dari musuh sehingga harus menerima tindak vandalisme dan radikalisme? Kenapa pula aparat, secara spesifik adalah institusi Polri/TNI, harus pula dianggap sebagai personifikasi "penanggung jawab" ketidak-adilan yang sedang diperjuangkan oleh para demonstran? 

Padahal aparat adalah wasit, yang berada di tengah pertandingan namun tidak ikut terlibat di dalam strategi permainan kedua belah pihak yang bertanding. Wasit menyerahkan sepenuhnya seluruh bentuk strategi permainan dan hanya berperan jika permainan telah melanggar aturan atau kesepakatan bersama. Sehingga  hasil demo terakhir  "wasit " dan kendaraan dinas nya di rusak dan dihancurkan yg nota bene semuanya itu dibeli dengan uang rakyat pula.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline