Kasus kekerasan dan pelecehan seksual masih menjadi luka terbuka di tengah masyarakat Indonesia. Meskipun banyak korban berani bersuara, seringkali kisah mereka tertutup oleh stigma, bias kultural, dan hambatan sistemik. Di saat yang sama, konflik antarindividu, bahkan antar-tetangga, kadang berevolusi menjadi tuduhan serius di ranah hukum.
Sebagai warga kota Malang, saya benar-benar terkejut dan terkesima dengan kasus yang tengah terjadi antara Yai Mim dan Sahara yang viral dan berbuntut panjang. Terlebih saat Yai Mim dan istri hadir dalam podcast Denny Sumargo, ditambah lagi dengan hadirnya tokoh sensasional Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat ke rumah Yai Mim di kota Malang.
Kasus Yai Mim vs Sahara adalah contoh terkini bagaimana persoalan tetangga bisa melewati batas perselisihan biasa dan memasuki ranah pelecehan seksual dan dugaan penindasan moral.
Tulisan saya ini berupaya mempertemukan data, analisis, dan opini kritis tentang hak perempuan, penyalahgunaan kuasa, serta tanggung jawab institusi terhadap keadilan.
Saya bukan ahli hukum, namun sebagai perempuan seringkali saya merasakan bahwa suara hati perempuan kurang didengarkan. Diabaikan bak angin lalu dan dinilai "alay" atau berlebihan.
Data Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia
Agar pembahasan tak hanya sekadar wacana, berikut beberapa saya cantumkan data terkini yang relevan:
- Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2024, Komnas Perempuan mencatat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat sekitar 10 % dibanding tahun sebelumnya. Dari data tersebut, pelecehan atau kekerasan seksual menunjukkan lonjakan signifikan dibanding tahun sebelumnya.
- Laporan langsung ke Komnas Perempuan justru sedikit menurun, menjadi 4.178 pengaduan (turun ~4,48 %) dibanding tahun sebelumnya.)
- Berdasarkan data SIMFONI PPA (Kementerian PPPA), sepanjang 2025 hingga beberapa bulan, dari 6.918 laporan kekerasan, 5.950 kasus (≈ 86 %) melibatkan perempuan sebagai korban.
- Data historis dari survei menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam rentang kehidupannya (SPHPN 2016).
Data-data tersebut menunjukkan bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan bukanlah kasus minor, melainkan masalah struktural, dan sebagian besar tidak pernah terungkap ke permukaan.
Kasus Yai Mim vs Sahara
Kerangka kronologi dan aspek-aspek penting dari kasus antara lain adalah sebagai berikut:
Kronologi Singkat
- Konflik awal muncul terkait parkir mobil rental milik Sahara yang menurut Yai Mim mengganggu akses keluar-masuk rumah, dan sebagian lahan jalan yang dipakai disebut sebagai tanah wakaf yang diklaim oleh Yai Mim
- Perselisihan semula bersifat tetangga, namun mencuat ke publik setelah beredar video cekcok di lingkungan Joyogrand, Lowokwaru, Kota Malang
- Yai Mim melaporkan Sahara atas dugaan pencemaran nama baik dan penistaan agama
- Sahara membalas dengan laporan terhadap Yai Mim atas dugaan pelecehan seksual sebanyak 4 kali
- Polresta Malang Kota menyatakan penanganan akan dijalankan secara profesional dan transparan sesuai prosedur hukum
- UIN Malang menonaktifkan Yai Mim dari tugas pengajaran sementara pengusutan berlangsung
Isu Inti yang Muncul
- Relasi kuasa dengan fakta bahwa Yai Mim adalah mantan dosen dan figur keagamaan yang memiliki posisi sosial lebih tinggi. Dugaan pelecehan dalam konteks kuasa sering sulit dibuktikan dan mudah dibantah dengan narasi pembalikan tuduhan.
- Bias publik & stigma ketika di tengah konflik publik, anggapan bahwa Sahara “memancing” atau “berlebihan” bisa muncul, meski bukti belum diverifikasi.
- Peran lembaga & aparat patut dipertanyakan, apakah aparat penegak hukum akan bertindak adil dan tidak memihak figur kuat?
- Perlindungan korban & pendampingan hukum, seperti yang dilakukan olah organisasi seperti GP Ansor yang mendampingi Sahara secara pro bono menjadi titik tumpu agar korban tak sendirian dalam menghadapi konflik publik.
- Publikasi media & opini publik dengan realitanya bahwa media sering menyorot konflik, tetapi tidak selalu mengekspos aspek hak perempuan, beban korban, atau proses bukti yang sebenarnya.
Hak Perempuan dan Tantangan Utama dalam Kasus Kekerasan Seksual
Hak Perempuan yang Terlibat
Perempuan korban pelecehan seksual memiliki hak-hak berikut (yang idealnya dijamin oleh negara dan masyarakat):
- Hak atas keamanan dan perlindungan agar tidak menjadi objek kekerasan atau intimidasi.
- Hak untuk dilayani secara adil dalam proses hukum melalui penyelidikan transparan, saksi didengar, dan keputusan yang proporsional.
- Hak atas pemulihan baik secara medis, psikologis, sosial, dan restitusi atas kerugian yang dialami.
- Hak atas kerahasiaan dan martabat agar tidak menjadi subjek stigmatisasi atau ekspos media yang menyudutkan.
- Hak untuk meminta pertanggungjawaban pelaku, tanpa hambatan status sosial, relasi kuasa, atau tekanan dari lingkungan.
Hambatan Umum yang Masih Ada
- Victim‐blaming (penyalahgunaan korban) dengan seringkali pakaian, perilaku, atau lokasi korban dijadikan alasan tak sah untuk membenarkan pelecehan.
- Norma patriarki yang mengakar dengan banyak anggapan bahwa perempuan harus “tertib” atau menyerah agar tidak dianggap provokatif.
- Stigma sosial & rasa malu, dalam hal ini korban cenderung takut dicap negatif atau tidak dipercaya bila melapor.
- Sistem hukum yang lambat atau bias bahwa seringkali penanganan perkara menjadi tertunda, bukti tidak dianggap kuat, atau aparat tidak sensitif gender.
- Ketidaksetaraan dalam akses pendampingan hukum. Tidak semua korban memiliki akses kuasa hukum yang mumpuni atau lembaga pendamping siap membantu.
Mengapa Wanita Sering Disalahkan & Peran Budaya
Opini yang sering muncul, mengapa wanita sering disalahkan:
- Dalam masyarakat patriarki, perempuan sering dianggap “lemah” atau “selalu harus berhati-hati”. Bila terjadi pelecehan, lebih mudah bagi sebagian orang untuk menyalahkan korban, karena narasi ini melindungi orang yang lebih kuat dari pertanggungjawaban.
- Seringkali korban dianggap “berlebihan” atau “membesar-besarkan” untuk menarik perhatian, padahal melaporkan pelecehan bukan tindakan publik yang ringan, melainkan langkah berani dengan risiko sosial tinggi.
- Media dan opini publik terlalu mudah tertarik pada “drama” konflik, bukan pada bagaimana keadilan ditegakkan atau hak korban dipenuhi.
- Akhirnya, struktur kelembagaan (aparat hukum, lembaga perempuan, media) belum sepenuhnya berfungsi sebagai jaring perlindungan, seringkali menjadi ruang kompromi atau bias.
Agar Kasus Seperti Ini Dapat Diselesaikan dengan Adil
Beberapa rekomendasi agar kasus seperti ini dapat diselesaikan secara adil:
- Penguatan kapasitas aparat dan sistem peradilan
- Pelatihan sensitivitas gender untuk polisi, jaksa, hakim agar memahami dinamika kekerasan seksual.
- Sistem penanganan terpadu (investigasi, medis, pendampingan psikologis) agar korban tidak harus “berjalan bolak-balik”.
- Transparansi proses hukum agar publik dapat memantau dan menekan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
- Perbaikan regulasi dan kebijakan
- Memastikan UU TPKS (UU Nomor 12 Tahun 2022) diterapkan secara konsisten dan lengkap.
- Peraturan pelaksana UU TPKS segera disahkan agar aspek teknis (saksi, bukti digital, restitusi) terlindungi.
- Memperkuat dukungan lembaga layanan korban (LPSK, LBH, lembaga konselor trauma) agar korban memiliki akses perlindungan dan pendampingan.
- Pendidikan publik dan literasi seksual sehat
- Kurikulum pendidikan sejak dini yang menanamkan konsep consent (persetujuan), batasan kekerasan, dan hak tubuh.
- Kampanye media yang menolak stigma, memberi ruang suara pada korban, dan menjelaskan bahwa pelecehan bukan salah korban.
- Peran media yang etis dan bertanggung jawab
- Media harus berhati-hati dalam pemilihan narasumber dan bahasa: jangan menyebar narasi menyalahkan korban.
- Liputan harus fokus pada proses keadilan, hak korban, dan dilema institusional, bukan sensasi konflik semata.
- Partisipasi masyarakat dan organisasi sipil
- Dukungan moral dan advokasi korban melalui organisasi perempuan, lembaga bantuan hukum, atau komunitas lokal.
- Tekanan publik agar kasus diseriusi dan tidak “ditutup-tutupi” atau dilupakan.
- Pelibatan tokoh agama, tokoh masyarakat untuk meluruskan narasi bahwa pemaksaan seksual adalah pelanggaran hak, bukan “masalah pribadi”.
Kasus Yai Mim vs Sahara bukan hanya tentang dua individu yang berseteru, ia menjadi cermin bagaimana masyarakat kita menangani konflik yang menyentuh hak perempuan, norma sosial, dan relasi kuasa.
Bila memang terbukti ada pelecehan seksual, maka pelaku apapun jabatannya, harus dipertanggungjawabkan. Bila tidak terbukti, proses hukum wajib menjamin keadilan dan perlindungan terhadap reputasi semua pihak.