Lihat ke Halaman Asli

Yusticia Arif

TERVERIFIKASI

Lembaga Ombudsman DIY

Yogyakarta, Menuju Kota Ramah Pejalan Kaki

Diperbarui: 19 Juni 2019   18:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana uji coba bebas kendaraan di Malioboro...lengang sekali...|Dokumentasi pribadi

Ada yang sangat berbeda dengan Malioboro pada tanggal 18 Juni 2019 kemarin. Tentu Bapak Ibu sekalian sudah mendengar kabar bahwa kemarin, Pemkot Yogyakarta melakukan uji coba penataan kawasan semi pedestrian di kawasan Malioboro dan memberlakukan larangan kendaraan bermotor (kecuali Bus Trans Jogja, truk sampah, ambulans) untuk memasuki kawasan ini.

Siang ini saya kepo dan menikmati waktu istirahat kantor dengan berjalan-jalan di Malioboro, "ngiras pantes" sambil melihat uji coba penataan ini. Suasananya memang sangat berbeda, bahkan berbeda juga dengan tiap Selasa Wage ketika PKL di Malioboro diliburkan dan mereka kemudian melakukan kegiatan bersih-bersih bersama.

Dari ujung paling utara Jalan Malioboro, sebuah spot yang selama ini ikonik untuk berfoto, (karena ada tulisan Jalan Malioboro di sana, Bapak Ibu sekalian pasti tahu spot ini), sudah dijaga petugas dari Dishub dan dipasang pagar pembatas agar kendaraan bermotor tidak masuk.

Seorang jurnalis lokal nampak sedang melakukan laporan pandangan mata di kawasan yang terkenal dengan macetnya ini terutama ketika musim liburan. Memasuki koridor pertokoan, suasana betul-betul menjadi lengang, koridor ini biasanya menjadi gang senggol bagi wisatawan karena dipenuhi PKL yang menjajakan aneka rupa souvenir, makanan dan sebagainya yang khas Yogyakarta.

Laporan pandangan mata dari Malioboro|Dokumentasi pribadi

Kebijakan Pemkot ini memang masih pro kontra. Keberatan terutama disampaikan oleh PKL yang selama ini menggantungkan nasibnya dengan berjualan di Malioboro. Beruntung saja hari ini bebarengan dengan kegiatan Selasa Wage-nan, dimana memang para PKL diliburkan agar memberi jeda kepada Malioboro untuk beristirahat. 

Kekhawatiran mereka memang masuk akal, karena apabila kawasan Malioboro menjadi sepi karena pemberlakukan larangan bagi kendaraan bermotor, maka omzet mereka akan terpengaruh.

Namun demikian, pihak yang pro tentu saja menyambut kebijakan ini. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia, Yogyakarta mengalami pertumbuhan kepadatan lalu lintas yang luar biasa (bahkan menduduki peringkat 4 kota dengan predikat macet menurut salah satu lembaga survei di Indonesia), sehingga kenyamanan kehidupan perkotaannya berkurang.

Perkembangan dan pertumbuhan kota yang semakin pesat memang membuat munculnya banyak permasalahan, termasuk salah satunya adalah keadaan kota yang tak ramah pejalan kaki. 

Faktor kepadatan kota yang terus meningkat diyakini menjadi penyebab utama yang sering membuat munculnya problem kota yang tak ramah bagi pejalan kaki. Permasalahan ini tentu tidak bisa dibiarkan. Hal ini dikarenakan kota yang tak ramah pejalan kaki membuat tingkat kenyamanan jadi menurun.

Koridor pertokoan di Jalan Malioboro yang tiap Selasa Wage dijadwalkan libur. Waktu senggang ini digunakan para pemilik usaha untuk bebersih. |Dokumentasi pribadi

Menurut seorang ahli perencana kota, paling tidak ada 4 syarat untuk menuju kota yang ramah pejalan kaki : (1) harus memiliki visi dan tujuan yang jelas, (2) harus aman, (3) harus nyaman, dan (4) harus menarik.

Menilik kawasan Malioboro yang merupakan ikon Kota Yogyakarta, maka keempat syarat tersebut sebenarnya bisa dipenuhi, maka tak salah bila Pemkot Yogyakarta berusaha melakukan penataan dan membuat kawasan Malioboro menjadi kawasan ramah pejalan kaki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline