Lihat ke Halaman Asli

Yuniandono Achmad

Dreams dan Dare (to) Die

Rencana dalam Penantian Mungkin, atau Keterlengahan

Diperbarui: 27 Maret 2023   11:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karya Eko Nugroho di pameran Galeri Bega, Australia. Foto M Hilmi Baiq (KOMPAS) https://www.kompas.id/baca/hiburan/2020/10/11/suara-dari-tenggara/  

I

Sudah lama tidak menulis puisi. Ini pertautan kata raga dan jiwa. Puisi tak bisa diibaratkan materi. Jiwa dapat melayang pedih atau makin jumawa. Materi telah di telapak terlepas jangan. Kejumawaan 'kan terhempas tanpa perencanaan.

II

Kereta sempat berhenti di Cikampek. Pengecekan rangkaian katanya. Kalau ini kereta commuter pasti udah pindah gerbong nih --pikirku. Tapi aku malah ndak kepengin KA cepat diperbaiki. Untuk sekedar melepas pandangan atau melamun sejenak untuk masa lalu. Sepuluh tahun lalu Bapak itu jualan di sepanjang stasiun. Membawa anaknya yang usia smp. "Tapi anakku ini terlambat sekolah, oom. Sekarang baru kelas empat SD...". Lalu tukasku, "Whew yang penting sekolah Pak. Kalau suaranya bisa nyaring seperti itu siapa tahu lolos audisi hehehe". Waktu itu masih eranya AFI -sebelum ada Idol. Sang anak memang kadang membantu suara-suara "marketing" Bapaknya. Suaranya jauh lebih merdu.

Pekerjaan di Puwokerto memaksaku tiap minggu naik kereta PP dari Gambir. Malah kadang sepekan dua kali. Dan pasti berhenti sejenak di stasiun ini. Anak cewek itu --pasti udah gadis sekarang. Seperti ahli menebak tentang masa depannya, sepertinya anak lusuh itu akan cantik kalau dewasa. Lamunanku masih mengambang siapa tahu dia lewat sambil jualan.

Seperti main ceki, dan kita membuka kartu secara perlahan. Berharap kartu 5 yang keluar setelah ada 2, 3, 4 ada di tangan. Membukanya secara pelan-pelan. Lagi-lagi ini soal kesempatan. Pas melongok keluar jendela, gadis itu lewat dengan jualan teh kotak. Yah siapa tahu kan. Ngarep. Kepenginku sih begitu.

"Teh kotak telur asin, teh kotak telur asin", dulu begitu jualan Bapak sama Anaknya itu. Mungkin ibunya di rumah, atau sudah tidak ada ibu, entahlah. Yang jelas aku rindu jajanan itu. Atau rindu sama orangnya? Kaga jelas.

Eh tapi, bagaimana kalau dia tidak lewat. Mestikah aku menyarinya, atau malah menjemputnya. Ya, menjemputnya di lorong toilet stasiun ini. Pesingnya lorong-lorong menuju kamar mandi, pasti hilang dengan keharuman suaranya. Teh kotak telur asin, teh kotak telur asin.

Kini aku putuskan, aku benar-benar berhenti dari perjalanan. Aku keluar dari stasiun. Tidak lagi ke Kebumen atau Karang Anyar. Atau sokaraja malah tidak juga jogjakarta. Aku di sini. Berharap disinilah penantian itu kan berhenti. Nekadnya aku ini, karena hatiku memang telah tertantang di sana: ujung toilet itu. Siapa tahu dia cangkruk dan nglentruk di kursi yang tersembunyi itu.

"Oh dia kena kasus protes Pak. Demo ke pemerintah. Ya, masuk penjara dia akhirnya," kata penjaga WC itu, "Berantem sama Kepala Stasiun. Dia nyoba mbunuh polisi kereta. Pakai parang, pak.....". Gila kupikir. Gadis sekecil itu. Seratus lima puluh senti, bobotnya barangkali tak berbanding jauh sama Sukreni Gadis Bali. Sukreni yang mau masuk SMP, paling 40an kilo.

(Kumasih heran) HAH menghunus parang. Apa dia bisa. Akankah dia bisa menyarungkannya kembali. Tangan-tangan yang kecil, yang lembut, yang lemah gemulai itu. Tak mungkin dapat mengerjakannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline