Lihat ke Halaman Asli

Rizal De Loesie

Seorang Lelaki Penyuka Senja

Syair Rebah pada Takdir

Diperbarui: 7 September 2018   23:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lalau kita mencari-cari kata salah, di balik jeruji ketiadaan. Sejak tetes embun yang di lalui para kelana hingga senja bergumam pada sisa mentari yang sebenarnya tiada pernah padam. Pada tumpu senja ini, dendang langit tiada riang dari barisan burung camar yang pulang. Lalu sejenak kita tetap memunguti ketiadaan, dan mengais-gais kealfaan mengunyahnya tiada henti untuk saling menyakiti.

Setangkai sajak itu kerontang, benih kata yang selayaknya membiakan kasih sayang. Ketiadaan yang tiada terlupakan dari memberi tanda baca. Syairnya sumbang dalam kerontang kesunyian yang dia pendam, kini menjadi pendar menyatu dilekuk malam yang semakin tipis.

Terus saja menggali sumur airmata, meluahkan segenapnya menjadi lumpur yang menjadikan kerak batin yang kian membeku, kebencian menuding sampai ke ujung dedauan, ranting kian rapuh bertahan dari terpaan angin kian menusuk labuh jiwanya.

Dedauan setengah bangka lepas melayang, jatuh atau terbuang, setelah betapa beban perjalanan ditimpakan.... syair itu tetaplah syair yang lahir dari pohon batin yang mengakar kuat pada takdir, dia tiada akan terluka terlepas dari tampuk keyakinan, melayang perlahan dan rebah pada takdir Allah...

Bandung, September 18




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline