Lihat ke Halaman Asli

Yudo Baskoro

Former Expert Staff at House of Representatives of The Republic of Indonesia

Apakah Hukum Internasional Layak Disebut sebagai Hukum?

Diperbarui: 2 Juli 2023   16:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: dotmagazine.online

Konsep Hukum Yang Berdiri Sendiri Dan Hukum Yang Berdampingan

Diskursus ini merupakan hasil dari diskusi random saya dengan seorang teman yang mempertanyakan karakteristik hukum internasional yang tidak memiliki organ pengawas, atau bisa dikatakan penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. 

Teman saya ini mempunyai alasan yang cukup masuk akal bahwa hukum dapat dikatakan sebagai hukum apabila terdapat penghukuman bagi si pelanggar hukum, sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah dimana hukum ditegakan akan merasakan keberadaan hukum tersebut. Teman saya juga mengatakan bahwa hukum internasional yang ada saat ini tidak bisa dikatakan sebagai hukum, tetapi norma.

Faktanya, dalam situasi dan kondisi tertentu terdapat masyarakat yang menciptakan suatu  aturan yang mengatur masyarakat agar bersikap sebagaimana mestinya tanpa mencantumkan penghukuman bagi yang melanggar, dan hal tersebut bagi masyarakat terkait dianggap sebagai hukum. 

Sehingga dalam pandangan orang-orang (setidaknya yang pernah saya temui secara acak), hukum dapat dikatakan sebagai sesuatu yang ngatur baik bersifat tertulis maupun tidak tertulis.

Kita sering mendengar rentetan kata "nilai, norma, dan hukum". Kata "nilai" dalam bahasa Inggris adalah "value", yang mana kata tersebut terambil dari bahasa Latin "valere" yang artinya "menjadi kuat", lalu kata "valere" ini menjelma menjadi "valoir" dalam bahasa Perancis Kuno yang bermakna "berharga", dan kemudian dalam bahasa Inggris menjadi "value".  Bagi penulis, nilai adalah output berupa pendapat seseorang ketika mengalami suatu hal tertentu, namun dalam prakteknya nilai selalu dimanifestasikan dalam bentuk angka karena sifatnya yang firm/tidak seperti kalimat yang berpotensi menghasilkan makna yang bercabang ketika menjelaskan suatu opini, terutama sekali opini yang sifatnya membandingkan. 

Makna "norma" merujuk pada pedoman untuk berlaku sebagaimana mestinya dalam situasi, kondisi, dan/atau aktivitas tertentu. Kata "hukum" memiliki persamaan dengan "norma", akan tetapi hukum dipandang sebagai norma yang terkonstruksi dengan baik. Karena memiliki kesamaan karakter sebagai "pedoman", terkadang kata "norma" dan "hukum" sering dipertukarkan, dan juga dua kata tersebut sering digabung menjadi satu menjadi "norma hukum". Kita juga sering mendengar dan/atau melihat istilah "norma agama", "norma adat", dan "norma kesusilaan" disamping frasa "norma hukum".

Dalam buku yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Muatan, menurut Ibu Maria Farida Indrati Soeprapto, mantan hakim pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sekaligus penulis buku tersebut, norma hukum dapat dilihat sebagai norma hukum tunggal, dan juga sebagai norma hukum berpasangan. Dikatakan norma hukum tunggal karena hukum tersebut dapat berjalan dengan sendirinya tanpa disertai dengan norma hukum lainnya. 

Dengan kata lain, hukum tersebut mengandung perintah, dan/atau mengatur sesuatu (das sollen), seperti "jangan curang", "berbuat baiklah dengan sesama", "masa jabatan Presiden 5 tahun", dan lain sebagainya. 

Sedangkan norma hukum berpasangan adalah 2 (dua) norma hukum yang berkaitan satu sama lain. Dua norma hukum tersebut terdiri dari norma hukum primer dan norma hukum sekunder. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline