Lihat ke Halaman Asli

Yovy Hash

Penulis di Kumparan. Com/jambikita

Kebakaran Lahan, Siapa Bertanggung Jawab?

Diperbarui: 14 Oktober 2019   09:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: ANTARA


SANGGATA - Fenomena kebakaran lahan di Indonesia seolah-olah telah menjadi agenda tahunan yang kerap terjadi di musim kemarau. Meskipun pemerintah telah berupaya melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelaku pembakaran, peristiwa ini masih kembali dan terjadi lagi hampir setiap tahun khususnya beberapa daerah di pulau Sumatra dan Kalimantan. 

Terhitung berdasarkan analisis citra satelit landsat 8 OLI/TIRS yang di overlay dengan data sebaran hotspot, serta laporan hasil groundchek hotspot dan laporan pemadaman yang dilaksanakan Manggala Agni yang dipublikasikan oleh website Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga hari ini terdapat lahan seluas 328.722,00 ha terbakar di Indonesia. Mayoritas titik api yang muncul berada di areal lahan gambut. 

Gambut merupakan lapisan tanah yang terbentuk dari bahan-bahan organik seperti tumbuhan yang membusuk dan terdekomposisi dalam waktu yang cukup lama. 

Budaya pembukaan lahan dengan cara membakar sebetulnya sudah ada sejak zaman nenek moyang zaman dahulu. 

Ghat Khaleb, Sekjen Dewan Adat Besar Krayan Hulu, Kalimantan Utara mengakui bahwa memang  masyarakat Dayak di pedalaman melakukan pembakaran lahan, tapi dalam area dengan luasan yang terbatas. "hanya sekedar mencari makan untuk berkebun, itu juga sangat terkendali", katanya.

Gat Khaleb juga mengatakan, "meski warga Dayak membakar hutan, penduduk pedalaman sangat  memperhitungkan kelestarian hutan, lahan-lahan milik  masyarakat sekedar  untuk makan sehari-hari dan tidak untuk usaha besar".

ia menambahkan "Hutan bagi warga pedalaman ibarat tanjung kehidupan, tanpa mengambil sebagian lahan hutan, mereka tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup dan cara ini telah ada sejak leluhur kami ratusan tahun lalu".

Seorang petani sawit bernama Ajew (24 tahun) di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur pada Senin (4/10/2019) mengatakan bahwa masyarakat sekitar yang melakukan pembakaran lahan menurutnya tidak pernah menyebabkan asap yang merugikan orang banyak. Mereka selalu membuat parit di tepian lahan yang dibakar untuk mencegah pembakaran melebar. "Luasnya juga paling hanya satu hektaran," ujarnya. 

Selain itu dia juga menjelaskan bahwa setiap membakar lahan selalu ada beberapa orang yang bersiaga di lokasi pembakaran untuk menghalau api membesar. Meski demikian Ajew merasa tidak bisa membenarkan juga aktivitas pembakaran lahan seperti itu, karena masih beresiko menimbulkan kebakaran lahan yang lebih besar. Akan tetapi dia mengungkapkan bahwa aktivitas itulah yang menghidupi dia, orang tua dan kerabatnya selama ini sebagai pendatang di Kalimantan.

Kebakaran hutan dan lahan juga sangat erat kaitannya dengan perusahaan perkebunan. Meski tidak semua, tapi ada sebagian perusahaan perkebunan yang selama ini telah menyumbang kabut asap akibat pembersihan lahan. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan harus membabat hutan untuk membangun sebuah perkebunan. Karena biayanya yang mahal, tidak sedikit pengusaha mengambil jalan pintas membuka ratusan hektar lahan dengan cara dibakar. Hasilnya memang cepat dan signifikan, akan tetapi dampak yang ditimbulkan sangat mengerikan, mulai dari kerusakan ekosistem hingga kabut asap berkepanjangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline