Lihat ke Halaman Asli

Program KKN Jangan Asal Jadi

Diperbarui: 18 November 2018   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Sebagian besar dari kita yang pernah mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) tentu memiliki pengalaman-pengalaman menarik baik suka maupun duka. Bagi saya masa-masa mengikuti kuliah kerja nyata adalah salah satu bagian yang tidak akan dilupakan meskipun kita sudah lulus dan menjadi sarjana. 

Kuliah kerja nyata adalah merupakan bentuk kegiatan pengabdian mahasiswa yang sesungguhnya. Pada saat KKN lah dua dari tiga fungsi mahasiswa dapat berjalan bersama-sama, yaitu social control dan agen of change.

Ketika KKN mahasiswa diwajibkan untuk membuat dan melaksanakan program-program yang sesuai dengan bidang keilmuan dan juga berdasarkan tema yang diangkat oleh pihak kampus. Program KKN tersebut dilaksanakan selama mahasiswa berada di lokasi KKN (umumnya di desa) selama kurang lebih 2 bulan.

Akhir-akhir ini kuliah kerja nyata kembali menjadi sorotan, namun bukan program KKN nya yang menjadi sorotan, melainkan kasus pelecehan seksual oleh mahasiswa KKN terhadap sesamanya. Memang harus diakui potensi godaan dan ketertarikan antar lawan jenis saat KKN cukup besar. Disitulah tantangan yang harus bisa dilawan oleh setiap mahasiswa KKN selain mengerjakan program kerjanya.

Pada kenyataannya seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, program-program kuliah kerja nyata memang sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan zaman saya. Sudah banyak kampus-kampus besar yang berinovasi melaksanakan program KKN seperti KKN tematik, KKN kebangsaan, KKN profesi dan program KKN yang diintegrasikan dengan program revolusi mental dari pemerintah. 

Namun masih ada juga kampus yang belum bisa move on dari program-program KKN model lama yang miskin inovasi dan hanya asal jadi.

Foto yang saya jadikan cover tulisan ini menjadi bukti bahwa masih ada saja program KKN yang miskin inovasi dan dibuat asal-asalan. Foto tersebut diambil di lokasi KKN di salah satu desa di kabupaten Poso oleh salah satu warga dan mempostingnya di facebook. 

Dari foto itu kita bisa menilai bahwa mahasiswa KKN yang membuat papan nama jalan desa tersebut terkesan asal-asalan dan sama sekali tidak mencerminkan mahasiswa yang cerdas. Bayangkan nama pahlawan pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara ditulis pada papan nama jalan menjadi Kihajar D. Ntoro.

Saya tidak mengerti apakah mahasiswa yang membuatnya memang tidak tahu nama yang sebenarnya ataukah mereka membuatnya karena keterbatasan papan nama, atau memang mereka sekedar membuatnya asal jadi saja.

Sejak dulu salah satu program KKN yang umum berbentuk fisik adalah membuat batas desa, papan nama jalan sekaligus mencat kembali batas-batas desa. Program seperti ini mungkin sudah saatnya ditinggalkan, karena sama sekali tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat desa, apalagi kalau dibuatnya asal-asalan saja.

Kalau memang perangkat desa (kepala desa) yang meminta untuk membuat papan nama jalan dan mencatnya maka itu sebenarnya bukan tanggungjawab mahasiswa. Sudah ada dana desa yang dapat digunakan untuk membuat sarana prasarana desa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline