Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Sebuah Proses Melawan Toksisitas

Diperbarui: 10 Agustus 2022   01:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Dreamstime.com)

Di era kekinian, kata "toxic" atau toksik menjadi satu hal umum yang cukup banyak dibahas. Seiring makin berseminya perhatian pada isu kesehatan mental, bahasan dan perhatian pada hal-hal yang bersifat toksik ikut bersemi.

Salah satu penyebabnya, toksisitas yang ada di sana merupakan satu penyebab utama masalah kesehatan mental. Dari yang awalnya dianggap hal biasa, lama kelamaan berdampak negatif.

Misalnya, seseorang yang berada di sekeliling orang-orang "dominan" kadang akan merasa inferior saat harus berekspresi. Karena "dipaksa" terbiasa mendengar dalam frekuensi lebih tinggi dari seharusnya, mereka justru gagap saat seharusnya bisa bertukar posisi.

Gagap yang saya maksud disini adalah, mereka tahu apa yang perlu dikatakan di dalam kepala, tapi mendadak bingung dan mati langkah saat harus mengatakan. Akibatnya, apa yang harus dikatakan justru tidak terkatakan, minimal tidak tersampaikan secara tuntas.

Jujur, situasi ini cukup menakutkan. Apalagi, orang-orang yang terbiasa dominan kadang menaruh posisi diri lebih tinggi, dan punya perspektif yang tidak boleh diganggu gugat.

Sekalipun menyebut diri terbuka pada kritik dan saran, mereka umumnya punya sisi defensif yang agresif. Dalam artian, jika ada sedikit saja sikap kritis, mereka akan berusaha bertahan dengan menyerang balik habis-habisan.

Walaupun mereka salah, kesalahan itu akan sebisa mungkin disulap jadi sebuah kebenaran. Minimal, mereka akan memaksa kita untuk menelan bulat-bulat. Situasinya mirip seperti satu rumus propaganda terkenal: "kebohongan yang disampaikan berkali-kali adalah satu kebenaran".

Situasi akan lebih runyam, kalau orang-orang ini berusaha mengontrol kita sampai detail terkecil, atau menunjukkan "superioritas" mereka, entah lewat gestur atau yang lainnya. Saya kadang merasa bingung, entah apa bagian yang menyenangkan di sini, karena jujur saja ini menakutkan.

Tidak ada ruang untuk bebas jadi diri sendiri, karena ada orang yang bisa jadi dirinya sendiri, tapi justru coba membuat orang lain jadi seperti dirinya.

Saya sendiri pernah mengalami situasi menakutkan ini cukup lama, sebelum akhirnya didorong psikolog untuk lebih berani berekspresi saat dibutuhkan, entah dalam bentuk lisan atau tulisan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline