Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Tak Semua Kisah Ingin Dibukukan

Diperbarui: 23 Agustus 2020   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Kompas.com)

Judul di atas, adalah satu kesimpulan dari saya, soal saran yang datang dari bos di kantor, pada masa sulit seperti sekarang. Alasannya, saya dianggap tak biasa, karena mampu bersekolah di sekolah umum, dari SD sampai SMA, lalu berlanjut ke bangku kuliah, dalam posisi saya sebagai seorang berkebutuhan khusus, akibat kelainan syaraf motorik bawaan yang saya punya sejak lahir.

Mungkin, ini ide yang terlihat menarik, tapi sebagai orang yang "mengalami", saya justru melihat ide ini sangat menjijikkan. Lebih tepatnya, ini adalah satu saran yang "toxic".

Bukan karena malas menulisnya, tapi saya memang tidak ingin meracuni pikiran, dengan memutar ulang semua memori yang ada. Saya sendiri memang berpandangan, setiap memori ada, pada tempat dan waktunya sendiri.

Dengan sifatnya yang privat, tak seharusnya ini direcoki seenaknya. Jujur saja, saya tak ingin membuat keributan apapun di kemudian hari, karena meski mengalami berbagai hal manis-pahit, banyak hal yang sudah lama berlalu, bersama tumbuhnya hubungan baik dan kesadaran dalam menjalani relasi.

Jadi, tidak ada yang perlu diceritakan secara langsung, apalagi dieksploitasi sisi penderitaannya. Inspirasi atau apapun kemasannya, selama disabilitas masih tetap dijadikan sekat pembatas, itu hanya menggarami air laut.

Hati saya saya sendiri tidak terima, karena cara pandang yang saya lihat terkesan melebih-lebihkan keadaan, sekaligus menganggap remeh sebuah proses, dalam hal ini proses menulis.

Jelas, menulis buku membutuhkan energi jauh lebih besar dari menulis artikel. Sebagai seorang penulis amatir, saya sadar betul, ini ada jauh diluar jangkauan saya. Menulis satu artikel sehari saja masih sering bolos, apa jadinya kalau membuat buku?

Selain itu, saya melihat saran ini punya cara pandang kelewat sempit. Sebenarnya, di setiap generasi, hampir selalu ada penyandang disabilitas, barang sedikit, yang sekolah di sekolah umum, dan bisa dipastikan, mereka punya cerita sendiri-sendiri.

Pertanyaannya, kenapa cerita sejenis ini jarang dibukukan? Padahal, kalau semua dibukukan, pasti jumlahnya banyak sekali.

Jawabannya sederhana, kisah hidup mereka tak ingin diceritakan, karena itu tak akan mengubah pengalaman pahit atau manis yang sudah terjadi. Apa yang terjadi, terjadilah, yang sudah berlalu biarlah berlalu.

Dari segi manfaat secara luas, mengeksploitasi hal-hal seperti ini juga kurang efektif. Bukannya menciptakan kesadaran, ini justru akan menghasilkan stigma "mereka harus dikasihani", padahal mereka perlu diberdayakan, karena mereka pun ingin hidup tanpa menjadi beban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline