Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Standar Ganda di Pertelevisian Kita

Diperbarui: 21 Maret 2018   00:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Jika bicara soal pertelevisian nasional, "alay" menjadi satu kata yang belakangan ini terlanjur melekat dengannya.Meskipun, tak semua program televisi kita "alay". Alay yang dimaksud disini, berkaitan dengan gaya penyajian dan cara berpikir yang ditampilkan. Memang, kata alay di pertelevisian nasional, juga berkaitan dengan penonton bayaran, yang juga dikenal dengan istilah "anak alay". Tapi, di tulisan ini, saya tak akan membahas soal "anak alay" lebih jauh.

Ke-alay-an, dalam beberapa tahun terakhir, menjadi salah satu unsur dominan di televisi kita. Bahkan, unsur ini seolah menjadi elemen wajib bagi tayangan manapun, yang ingin mendapat rating tinggi dalam sekejap. Di sini, tim kreatif tak perlu berpikir soal kualitas konsep acara: yang penting heboh, cepat jadi, dan bisa diterima di masyarakat. Targetnya; masyarakat kelas menengah ke bawah, yang notabene ceruk pasar terbesar.

Tak heran, belakangan banyak muncul lelucon-lelucon "bully", atau komedi gaya "slapstick" yang sudah usang di televisi kita. Parahnya, lelucon-lelucon ini kerap berlebihan. Alhasil, aksi si pembuat lelucon (yang menyebut dirinya pelawak), kerap memunculkan masalah, dan kegaduhan di masyarakat. Anehnya, meski si 'pelawak' ini melontarkan permintaan maaf ke publik, gayanya tetap tak berubah. Sanksi yang didapat pun relatif ringan.

Akibatnya, masalah akibat 'komedi' ini terus terulang. Masalah ini baru ditindak serius, jika terjadi kasus sangat serius,  dan menuai kritik dari masyarakat luas. Seperti pada kasus program televisi "Dahsyat" (RCTI), yang belakangan mendadak hilang dari peredaran, akibat dikecam masyarakat, usai menampilkan konten yang kurang pantas beberapa waktu lalu. Di sini, komedi bukan lagi sebuah karya seni, tapi sumber masalah.

Gaya penyajian semacam ini, juga banyak ditemukan di tayangan sinetron kita. Target pasarnya pun sama. Di sini, alur ceritanya dibuat begitu rumit, dengan jumlah episode begitu banyak. Saking rumitnya, kita bisa berkelana keliling dunia, untuk mengumpulkan tujuh bola Dragon Ball, sambil menunggu sinetron itu tamat (atau ditamatkan dengan paksa). Padahal, tema ceritanya hanya berkutat di seputar konflik, intrik, dan percintaan, sungguh tak penting. Anehnya, gaya ini seolah menjadi 'hal wajib' di sinetron Indonesia, yang tak bisa diganggu gugat.

Fenomena ini berbanding terbalik, dengan sensor ketat (yang cenderung absurd), pada film-film lokal maupun asing, dan film kartun yang tayang di televisi. Belakangan, kita kerap melihat, banyak adegan yang disensor (baik dalam bentuk blur, zoom, atau skip), atau layar TV kita yang mendadak berwarna hitam putih layaknya TV kuno, saat ada adegan berdarah. Padahal, kita semua tahu, itu bukan realitas, hanya karya seni. Sayangnya, karya seni itu rusak, akibat sensor berlebihan.

Fenomena ini, dengan jelas menampilkan, adanya standar ganda, di dunia pertelevisian kita; tegas kepada film dan kartun, tapi lembek dengan yang lain. Di sini, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) boleh saja berkilah, sensor-menyensor adalah urusan LSF (Lembaga Sensor Film). Tapi faktanya, setiap program yang tayang di televisi, bisa ditayangkan atas seizin KPI, dengan pengawasan langsung dari KPI.

Fenomena 'standar ganda' ini, secara nyata menampilkan sebuah potret absurd televisi, yang tengah memasuki awal senjakalanya. Seperti diketahui, dengan adanya layanan video streaming nirkabel, pelan tapi pasti, pengaruh televisi akan tergerus. Jika regulasi pertelevisian yang diterapkan makin absurd, dan kualitas program yang ditampilkan makin buruk, maka kematian dunia televisi kita hanya tinggal soal waktu.

Menariknya, ke-alay-an di dunia televisi kita membuktikan, sebuah karya seni harus ditampilkan apa adanya, tapi tak berlebihan. Supaya, karya seni itu tak rusak, dan menjadi sumber masalah. Karena, karya seni yang mendatangkan masalah tak lebih dari sebuah bencana.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline