Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Ini Bukan Soal Adu Panco Lawan Kaesang

Diperbarui: 11 November 2016   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi beradu panco melawan Kaesang Pangarep. foto: ist/google

Saling lapor di kepolisian kini tengah menjadi tren. Ahmad Dhani pun ikut meramaikan hal itu dengan melaporkan pemilik akun di facebook setelah sebelumnya dirinya dilaporkan oleh Projo, elemen pendukung Presiden Joko Widodo. Terakhir mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dilaporkan oleh Forum Silaturahmi Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Lintas Generasi melaporkan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Bareskrim Mabes Polri.

Menariknya, jika sebelumnya ajang saling lapor polisi milik kaum pesohor dengan berbagai motif- termasuk sensasi, saat ini fenomena saling lapor didominasi masalah politik. Seolah beda politik menjadi hal tabu. Omongan politik menjadi bahan laporan pidana manakala tidak menguntung pihaknya. Ataukah ini juga bagian dari sensasi politik?

Politik adalah ranah abu-abu. Ranah bertemunya ide atau gagasan dan pemikiran yang berbeda-beda. Jika setiap kali perbedaan dianggap sebagai musuh sehingga memerlukan campur tangan aparat penegak hukum, melarikannya pada ranah pidana, rasanya kematian nalar tinggal menunggu waktu.  

Meski masih perlu beberapa prasyarat untuk sampai pada kesimpulan bahwa kondisi saat ini merupakan kegagalan pemerintah mengelola konflik, tetapi membiarkannya tanpa solusi cerdas sama halnya dengan memendam bom waktu.

Rivalitas dan gesekan yang terjadi saat ini bukan seperti adu panco Presiden Jokowi melawan Kaesang Pangarep di mana masyarakat masih menemukan nilai-nilai kabajikan di balik adu otot. Konflik di segala lini, sosial-politik juga penegakan hukum, sudah memasuki zona merah karena melulu menebarkan sikap saling curiga dan virus perpecahan di tengah masyarakat.  Kondisi itu diperparah dengan konfrontasi verbal antar elit di media massa.

Konsolidasi militer yang tengah dilakukan Presiden Jokowi, seperti alas pembenar terhadap rumor kudeta yang sempat beredar beberapa waktu lalu. Bukan tanpa maksud jika Presiden secara khusus menekankan dirinya adalah Panglima Tertinggi TNI dan Polri. Ada kesan Presiden seperti ragu dengan loyalitas militer sehingga sampai terucap kalimat, “Sebagai Panglima Tertinggi saya ingin memastikan bahwa semuanya loyal..." selengkapnya baca di sini.

Dengan peta kondisi seperti itu, jelas dibutuhkan ketegasan sikap. Presiden Jokowi harus memposisikan diri sebagai pemimpin seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya golongan pendukungnya. Presiden harus berani “keluar kandang” untuk merangkul seluruh kekuatan yang ada. Figur seperti SBY dan Amien Rais, tidaklah lebih rendah dari Prabowo Subianto. Mereka masih memiliki posisi dan kekuatan di tengah masyarakat. Jika Presiden secara khusus mengunjungi Prabowo, mengapa tidak menyempatkan diri untuk menyambangi SBY, Amien Rais dan beberapa tokoh kunci lainnya?

Menempatkan SBY dan Amien Rais di kubu seberang, tidak akan menyelesaikan “pertikaian” yang saat ini sudah teruar. Amien Rais sudah terbukti mampu mengkonsolidasikan kekuatan rakyat untuk menumbangkan Orde Baru, dan dipertontonkan lagi saat demo 4 November lalu. Tanpa bermaksud mengecilkan peran tokoh lainnya, tanpa figur Amien Rais, demo 4 November tidak akan semasif itu sehingga mengabaikan peran Amien Rais, juga SBY, dalam kancah politik saat ini adalah kekeliruan fatal. Ingat, isu sebesar apapun, bahkan ketertindasan, belum tentu bisa membangkitkan semangat perlawanan jika tidak ada figur yang menggerakkan.  Soal apakah aksi Amien Rais pada demo 4 November berbalut politis atau murni ketersinggungan sebagai umat Islam, masih bisa diperdebatkan lebih lanjut. Tetapi yang pasti, fakta ini membuktikan Amien Rais belum pikun sebagaimana pernah disuarakan beberapa pihak.

Semoga konsolidasi yang dilakukan Presiden Jokowi tidak berlarut-larut. Masih banyak agenda pembangunan yang membutuhkan perhatian langsung dari Presiden. Jangan sampai program Nawa Cita terbengkalai gegara satu-dua orang. Jika memang sudah tidak bisa “diobati”, Presiden harus berani melakukan langkah radikal agar tidak menjalar ke seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salam @yb




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline