Lihat ke Halaman Asli

Yohanes Tola

Mahasiswa

TPST Piyungan dan Kebijakan Strategis Pemerintah

Diperbarui: 5 Juli 2022   18:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

TPST Piyungan dan Kebijakan Strategis Pemerintah.

Masalah ekologi selalu menjadi masalah yang hangat dalam riuh pikuk diskursus kehidupan sosial kemasyarakatan hari ini. Seiring maraknya pembangunan, lingkungan tak jarang menjadi imbas pembangunan pemerintah dan akibat aktifitas keseharian manusia. Masalah sampah contohnya. Sampah menjadi bagian dari hasil kerja atau aktifitas manusia yang saling terhubung dengan relasinya terhadap sosial dan kesatuan ekologi yang ada. Aktifitas manusia dalam menghasilkan sampah kemudian menjadi tak terbendung. Sampah dikumpulkan pada sebuah lahan untuk dijadikan tempat pembuangan sampah karena tidak lagi bisa diolah secara terpadu. Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) misalnya. TPST pada awalnya diciptakan sebagai tempat penampungan sampah dari beberapa tempat yang bertujuan untuk mempermudah proses daur ulang dan pemilahan sampah.

Namun, keberadaan TPST hari ini menuai banyak perhatian masyarakat. Pengelolahan TPST  yang kurang tepat mejadi pemicu beberapa TPST di Indonesia mengalami penumpukan berlebih (overload capacity). Tak jarang, penumpukan berlebih menjadi faktor pemicu terjadinya longsor gunungan sampah. Kejadian seperti ini kemudian berimbas pada dampak lain yang berkenaan langsung dengan daerah disekitar TPST. Lingkungan masyarakat misalnya. Hal tersebut pernah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di TPST Piyungan, Ngablak, Bantul, Yogyakarta.

Tahun 2019 warga desa-desa di sekitar TPST Piyungan menutup akses masuk. Truk-truk pengangkut sampah pun berputar balik. Penolakan ini muncul karena kekecewaan yang menumpuk dari warga. Hujan membuat cairan sampah meluap kemana-mana, tumpukan plastik juga melebar hingga ke area kebun, jalan menjadi becek, bau busuk menyengat serta serangan nyamuk dan lalat menjadi-jadi. Perwakilan warga mengatakan, seperti juga sampah yang terus datang, masalah yang mereka hadapi juga menumpuk.

Sejak tahun 2019 lalu, pemerintah dan warga Daerah Istimewa Yogyakarta disibukan dengan masalah sampah yang terus berkepanjangan. Permasalahan ini tentu tidak datang begitu saja. Sejak ditetapkanya Piyungan sebagai lokasi Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) pada tahun 1996, intensitas sampah DIY ditumbuk dilahan dengan luas 12,5 Hektare dan berlangsung selama kurun waktu 26 Tahun.

Hari ini, warga DIY tentu tak asing dengan surat edaran yang dikeluarkan pemerintah mengenai informasi penutupan TPST Piyungan untuk sementara waktu. Penutupan TPST Piyungan ini   diakibatkan penumpukan sampah yang membeludak dan menimbulakan bau menyengat disekitar area TPST. Pemerintah bekerja keras untuk segera menyelesaikan persoalan ini. Namun, keadaan teknis tidak cukup membantu untuk mecari pemecahan masalah TPST Piyungan ini. Kapasitas lahan dan sistem pengolahan sampah TPST yang kurang terpadu menjadi hal penting yang perlu disinergikan pemerintah dalam penanganan masalah TPST Piyungan.

Ketidakmampuan lahan TPST untuk menampung sampah dari masyarakat DIY dapat dilihat dari intensitas masuk sampah yang dibuang di TPST Piyungan setiap harinya. Saat libur lebaran misalnya, kenaikan volume sampah sekitar 15 persen. Saat ini, rata rata volume sampah yang dihasilkan warga Yogyakarta sekitar 370 ton dan sebanyak 260 ton di antaranya dibuang ke TPST Piyungan. Dapat terlihat, ketidakseimbangan proses pengolahan sampah dan jumlah sampah yang dihasilakan menjadi perhatian penting bagi pemerintah dan masyarakat dalam memikirkan permasalahan ini. Dalam logika berfikir, dapat dipastikan lahan TPST Piyungan akan mengalami penumpukakn berlebih jika dilihat dari proses manejemen pengolahan sampah yang telah terapkan pemerintah selama ini.

Penerapan 3R (Reuce, Reduce, Recycle) menjadi tidak berarti jika dilakukan dalam intensitas yang kecil. Konsep ini memiliki inti yakni Reuse (Menggunakan kembali sampah sampah yang masih bisa digunakan atau bisa berfungsi lainnya), Reduce (Mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan atau memunculkan sampah), Recycle (Mengolah kembali sampah atau daur ulang menjadi suatu produk atau barang yang dapat bermanfaat). Sistem pengolahan sampah ini, akan menimbulkan ketidakpastian penanganan sampah jika dalam penerapanya pemerintah belum memberi usaha lebih agar penerapan 3R dapat dilakukan dalam skala yang lebih besar, dalam artian dapat mengimbnagi stidaknya pengolahan 50 persen sampah dari jumlah sampah yang dihasilkan DIY dalam sehari.

Penanganan dalam skala yang lebih besar, diharapkan menjadi prioritas kerja pemerintah dalam menangani masalah sampah di DIY. Pemerintah dengan segala kelengkapan otoritasnya diharapkan mampu memberi terobosan konkret berbasis pemecahan masalah yang inovatif dan edukatif. 

Kerap kali terdengar ungkapan pemerintah ketika ditanyakan mengenai strategi penanganan sampah di DIY yang mengatakan bahwa masalah sampah bukanlah permasalah akhir, ada relasi hulu dan hilir yang terputus didalam aktifitas keseharian masyarakat dengan upaya pemerintah menangani sampah. Hulu dan hilir adalah ungkapan yang dipakai untuk menerjemahkan awal dan akhir. Sejak awal, masyarakat tidak memilah sampah dan membuangnya pada tempat sampah. Hal inilah yang menyebabkan penumpukan sampah dengan berbagai jenis sampah di TPST Piyungan. Hanya sampah yang telah dipilah yang tidak dibuang di TPST.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline