Lihat ke Halaman Asli

Yesri Saefatu

Menulis saja

Negara Indonesia dan Masalah Kebangsaan: Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Islam dan Modernisasi Indonesia

Diperbarui: 20 Maret 2020   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cak Nur - Nurcholish Madjid Foto realis

Pemikiran Nurcholish Madjid yang digunakan dalam tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan makna modernisasi sekaligus merespons kesan di masyarakat bahwa seakan-akan ada suatu golongan yang hendak menghalangi modernisasi di Indonesia, yaitu umat Islam (termasuk mahasiswa Islam). Padahal mahasiswa merupakan lapisan yang lebih terpelajar daripada masyarakat pada umumnya, yang seharusnya berperan sebagai agen modernisasi.

Modernisasi: tinjauan Islami
Modernisasi menurut Nurcholish Madjid adalah proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantikannya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan.

Mengingat bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil pemahaman manusia terhadap hukum-hukum objektif yang menguasai alam, orang yang bertindak menurut ilmu pengetahuan berarti bertindak menurut hukum alam yang berlaku. Jadi, sesuatu dapat disebut modern kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam.

Sehubungan dengan hal ini Nurcholish Madjid memandang bahwa modernisasi adalah suatu kewajiban yang mutlak karena merupakan pelaksanaan perintah ajaran Tuhan Yang Mahaesa. Dasar sikap itu ialah sebagai berikut. Allah menciptakan seluruh alam ini dengan haqq (benar), bukan bthil (palsu) (Q.S. 16:3; Q.S. 38:27) dan diatur dengan sunatullah (Q.S. 7:54; Q.S. 25:2).

Sebagai buatan Tuhan Maha Pencipta, alam ini adalah baik, menyenangkan (mendatangkan kebahagiaan duniawi) dan harmonis (Q.S. 21:7; Q.S. 67:3). Karena itu manusia diperintah oleh Allah untuk mengamati dan menelaah hukum-hukum yang ada dalam ciptaan-Nya (Q.S. 10:101). 

Allah menciptakan seluruh alam raya untuk kepentingan manusia, kesejahteraan hidup dan kebahagiaan, sebagai rahmat dari-Nya. Akan tetapi, hanya golongan manusia yang berpikir yang akan mengerti dan memanfaatkan karunia itu (Q.S. 45:13). 

Karena adanya perintah untuk mempergunakan akal pikiran (rasio) itu, maka Allah melarang segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, yaitu terutama berupa pewarisan membuta terhadap tradisi-tradisi lama, yang merupakan cara berpikir dan tata kerja generasi sebelumnya (Q.S. 2:170; Q.S. 43:22-25).

Demikianlah modernisasi yang tampaknya hanya mengandung kegunaan praktis yang langsung, tapi pada hakikatnya mengandung arti yang lebih mendalam lagi, yaitu pendekatan kepada Kebenaran Mutlak, kepada Allah. Sikap ini adalah sikap yang konsekuen kepada nilai-nilai Pancasila. Maksudnya, Ketuhanan Yang Mahaesa itulah yang mendasari dimensi-dimensi moral yang akan menopang setiap peradaban manusia.

Modernisasi Indonesia: Pengalaman berharga dari Snouckisme
Lebih jauh, Nurcholish Madjid memberi contoh dari sejarah Indonesia. Ketika Islam datang ke Nusantara, terjadi interaksi antara animisme dan dinamisme dengan Tauhid. Sutan Takdir Alisjahbana dalam bukunya Indonesia: Social and Cultural Revolution, mengatakan bahwa salah satu karakteristik Islam yang unik adalah memberi manusia kesempatan untuk membangun dunianya sendiri dengan dituntun oleh intelegensinya. 

Untuk dapat bebas dari belenggu animisme dan dinamisme, desakralisasi harus dilakukan sebelum kita mengadakan pemecahan dan pemahaman rasional atas sesuatu, sehingga ia terbebas dari bungkus ketabuan dan kesakralan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline