Tidak terasa Ramadhan tinggal menghitung hari. Bulan sakral yang selalu dinanti oleh milyaran ummat muslim sedunia. Tidak memandang benua, usia, suku dan apapun jua semuanya menanti dengan penuh suka cita. Rasulullah SAW dan para sahabat senantiasa menyambut ramadhan dengan penuhbahagia, pancaran cinta senantiasa tergambar disaat rajab dan sya’ban sudah menemui mereka. So pasti kita akan melakukan dengan hal yang sama, dahaga kerinduan akan ramadhan segera akan kita obati. Marhaban ya ramadhan…..marhaban ya syahrul Mubarak, syahrul ibadah, syahrul qur’an. Semoga Allah menjadikan ramadhan tahun ini sebagai bulan yang mengantarkan kita pada cintaMu
Bagaimana ya sikapku?
Aku malu bertemu ramadhan
Seolah-olah ramadhan tahun lalu tiada bekas pada perilakuku
Tiba-tiba dirimu sudah akan muncul di hadapanku
Aku malu bertemu denganmu
Terasa belum pantas diriku
Masih begitu kotor untuk bertemu denganmu
Berlumuran dosa karena terlalu jauh dariMu
Tapi aku malu kalau tidak menyambutmu
Karena sungguh mulia dirimu
Sungguh mahal harimu
Terasa berat…tapi aku ingin merengkuhmu
Ingin menyambutmu, ingin bersamamu
Ingin bertasbih, melinangkan airmata yang membasahi bulanmu
Aku malu
Tapi aku merindukanmu, mencintaimu
Selamanya..tuk meraih cintaMu, rinduMu dan surgaMu
Ramadhan bulan pembentukan rasa malu. Malu untuk berbuat maksiat, malu berbuat dosa, malu membuka aurat, malu berbohong, malu korupsi, malu menipu, malu berkata kotor. Jika kita malu dengan aktifitas ini maka pasti kita akan terbiasa di bulan-bulan lainnya.
Ramadhan menghadirkan pribadi malu. Malu tidak sholat fardhu, malu tidak baca qur’an, malu tidak berpuasa, malu tidak membayar zakat, malu tidak berinfaq, malu tidak membantu fakir miskin, malu tidak berbagi dengan sesama, malu jika tidak berbuat kebaikan.
Rasa malu ini akan tertanam dalam diri kita jika kita berusaha menjadi orang yang malu kepada Allah. Atas setiap apa saja, malu kalau tidak dapat ridhaNya, malu kalau tidak dapat pahalaNya, malu kalau kita jauh dariNya.
Beberapa ulama mendefinisikan rasa malu Jika seorang hamba mengingat dan menyadari sungguh besarnyanikmat dan rahmat Allah yang diberikan kepada kita jika dibandingkan dengan amalan ibadah dan kesyukuran kita kepadaNya. Sehingga dorongan berikutnya adalah bagaimana seorang hamba termotivasi untuk melakukan ibadah dan rasa taat yang kuat serta mencegah dari perilaku tercela yang dilarang olehNya
Rasulullah SAW pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Mas’ud Al-Badri ra: “Sesungguhnya diantara kata-kata kenabian terdahulu yang masih diingat oleh banyak orang adalah: “Jika kamu sudah tidak lagi mempunyai rasa malu, maka berbuatlah sekehendakmu/semaumu” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ya Rabb, sungguh mulia sifat malu yang engkau ciptakan ini. Ia bisa menahan segala bentuk nafsu, mempompa semangat untuk meraih cintaMu. Apabila rasa ini engkau hilangkan dariku sungguh akan jadi apa hambamu ini, mungkin tontonan, tertawaan, cacian atau bahkan hinaan, tapi yang paling ku takuti adalah azabMu.
Rasa malu akan menahan orang tergelincir dari perbuatan dosa. Berasa introspeksi bahwa tiada harganya nikmat yang Allah berikan, curahkan dan anugerahkan kepada kita dibanding dengan rasa ketaatan dan kesyukuran kita kepadaNya.
Aisyah ra, menceritakan, Rasulullah SAW sholat malam hingga kakinya bengkak. Ketika ditanya oleh Aisyah, “Ya Rasulullah, mengapa engkau memaksakan diri sampai sedemikian? Bukankah jika engkau lakukan itu karena takut kepada Allah? Bukankah Allah telah menjaminmu, mengampuni seluruh kesalahan dan dosamu jika ada yang lalu maupun yang akan datang?” Rasulullah tersenyum dan mengatakan, “Wahai Aisyah, jika aku telah diberi segala sesuatunya oleh Allah SWT, ampunan, jaminan, surga, cinta, kasih sayang Allah, diangkat jadi Rasul, diangkat jadi manusia paling mulia di sisinya, diangkat jadi manusia paling dicintai di hadapan Allah, bukankah aku ingin jadi seseorang hamba yang mengerti bagaimana berterima kasih kepada Tuhannya? Bukankah aku ingin jadi seseorang hamba yang bersyukur atas segala nikmat dan karunia dari Tuhannya?”
Sehingga sudah pantas jika sifat malu itu menyatu dengan iman. Tiada malu seseorang maka tiada iman pulalah adanya. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna” (HR Al-Hakim).
Aku malu
Kalau tidak menjadikan ramadhan ini sebagai bulan terbaik untukku
Seandainya aku melewati begitu saja bulanmu
Jika tidak mengisi dengan tilawah qur’an, sholat yang khusuk dan berzikir kepadaMu
Aku malu
Kalau tidak menafkahkan hartaku
Kalau tidak membersihkan jiwaku
Kalau tidak membantu para kaum fakir miskin dan
Menyayangi anak-anak yatim
Sungguh jelas akhirnya bahwa sifat malu adalah ukuran utama kebaikan dan kesalehan kita semuanya. Sifat malu mampu menjadikan iman kita semakin kuat, sifat malu mampu membangun kekokohan keluarga kita bahkan bangsa yang kita cintai ini. Wallahu a’lam