Lihat ke Halaman Asli

yassin krisnanegara

Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Arsip Terakhir

Diperbarui: 26 Juni 2025   18:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cover: Arsip Terakhir & Sumber: Chatgpt

Surat mutasi itu datang laksana retak pada cermin pusaka, pada suatu pagi di bulan Juni yang lengket, ketika Jakarta sedang berkeringat di bawah langit yang pucat pasi laksana kain kafan yang terlalu sering dicuci.

Ibu Retno Wulandari, perempuan yang telah mendedikasikan dua puluh lima tahun hidupnya pada keteraturan arsip nasional, pada bau kertas tua dan debu sejarah yang mengendap, menerimanya dengan tangan yang tak gemetar. Ia membacanya sekali, lalu sekali lagi, bukan karena tak percaya, melainkan karena kalimat-kalimat birokrasi di dalamnya terasa begitu asing, seperti bahasa dari peradaban yang telah punah. "Mutasi," "penyegaran organisasi," "unit arsip cadangan." Kata-kata itu terdengar seperti alasan yang dibuat-buat untuk menyingkirkan sebuah perabot tua yang sudah tak sedap dipandang mata.


Setelah dua puluh lima tahun pengabdian tanpa cacat, tanpa satu pun map salah letak atau selembar dokumen hilang, ia dibuang. Bukan dipecat, sebab itu akan menimbulkan pertanyaan, melainkan dipindahkan. Dibuang ke sebuah kota kecil bernama Sendang Kalbu, sebuah nama yang terlalu puitis untuk sebuah tempat yang barangkali tak lebih dari sekumpulan rumah dan satu-dua warung kopi di tepi jalan berlubang. Ia ditugaskan untuk mengelola gudang dokumentasi tua, sebuah purgatorium bagi kertas-kertas yang dianggap tak lagi relevan namun terlalu sayang untuk dijadikan bubur.


Perjalanan dengan bus menuju Sendang Kalbu adalah sebuah upacara pelepasan yang sunyi. Gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang pongah perlahan digantikan oleh hamparan sawah yang monoton, lalu oleh perbukitan kapur yang kerontang. Sendang Kalbu sendiri ternyata lebih menyedihkan dari bayangannya. Kota itu seperti sedang menahan napas, menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Dan gudang arsip itu, bangunan peninggalan Belanda dengan dinding yang berkeringat lumut dan atap seng yang merintih setiap kali angin bertiup, berdiri di ujung kota seperti sebuah nisan raksasa.

Seorang lelaki tua kurus bernama Pak Wito menyambutnya. Giginya merah karena sepah sirih dan matanya memancarkan kelelahan yang telah mendarah daging. "Saya penjaganya, Bu," katanya, suaranya serak seperti engsel berkarat. "Sudah tiga puluh tahun. Sejak gedung ini berhenti dipakai."


Di dalam, udara terasa padat dan berbau apek, campuran dari jutaan kertas yang membusuk perlahan, kelembapan abadi, dan bangkai-bangkai cicak yang menyerah pada nasib. Rak-rak besi menjulang hingga ke langit-langit yang gelap, dipenuhi ribuan, mungkin puluhan ribu, bundel arsip yang diikat tali rapia merah yang warnanya telah memudar menjadi merah jambu pucat. Menurut Pak Wito, dokumen-dokumen ini belum pernah disentuh tangan manusia sejak awal tahun 1980-an. Mereka adalah catatan kelahiran, kematian, kepemilikan tanah, laporan kelurahan, dan segala macam administrasi remeh-temeh dari sebuah zaman yang telah dilupakan.


Bagi Ibu Retno, ini adalah sebuah penghinaan. Ia, yang terbiasa menangani dokumen perjanjian negara dan surat-surat para pahlawan, kini harus berkubang dalam tumpukan kertas lapuk yang bahkan rayap pun enggan menyentuhnya. Namun, ia adalah seorang profesional. Keteraturan adalah agamanya. Maka, dengan disiplin seorang prajurit yang kalah perang, ia mulai bekerja. Ia membuat daftar inventaris, menyusun rencana pengkatalogan, dan mencoba membersihkan sudut ruangan untuk mejanya. Di sudut itu, berderet tiga mesin ketik tua sebuah Olivetti, dua Brother yang badannya telah dipenuhi karat dan tuts-tutsnya lumpuh.


Malam pertama di rumah dinas kecil di belakang gudang, ia tak bisa tidur. Suara jangkrik dan katak bersahutan seperti orkestra yang gila. Tepat lewat tengah malam, ketika keheningan seharusnya mencapai puncaknya, ia mendengarnya.

Tik... tik-tik... tak. Tik... tak...

Itu adalah suara mesin ketik. Bukan ketukan yang teratur dari seorang juru ketik yang mahir, melainkan irama yang ragu-ragu, seolah jari-jari tak kasat mata sedang mencari huruf yang tepat di atas tuts yang macet. Suara itu datang dari arah gudang.


Dengan jantung yang berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya, Ibu Retno mengambil lampu senter dan berjalan menyeberangi halaman belakang yang basah oleh embun. Pintu gudang yang tak pernah benar-benar bisa dikunci ia dorong perlahan. Di dalam, kegelapan terasa lebih pekat, lebih berat. Ia menyapukan cahaya senternya ke arah deretan mesin ketik rongsok itu. Semuanya diam, diselimuti debu tebal laksana kain kafan. Tak ada siapa pun di sana. Namun, suara itu masih terdengar, menggema lirih di ruangan luas itu, seolah berasal dari dinding-dinding itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline