Lihat ke Halaman Asli

Budiyanti

Seorang pensiunan guru di Kabupaten Semarang yang gemar menulis dan traveling. Menulis menjadikan hidup lebih bermakna.

Menyusuri Jejak-jejak Masa Kecil

Diperbarui: 27 Agustus 2022   05:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar dari calamur.org

Menyusuri Jejak-jejak Masa Kecil

Entah kenapa saya punya keinginan untuk napak tilas masa kecil. Keinginan itu sudah lama sekali. Namun, baru kali ini bisa terlaksana. Masa kecil penuh kenangan itu tak terlupakan. Masa saat bermain lompat tinggi, bekel, kereweng di saat bulan purnama. Juga saat harus ikut-ikutan teman mencari kayu bakar, mencari air dari pancuran yang berada di ujung desa dengan klenting ( sejenis gerabah berbentuk seperti gentong).

Selain itu saat-saat indah saya mengikuti karnaval bersama keluarga kantor Bapak. Semuanya terlintas begitu jelas. Dan yang paling berkesan saat bermain bekel di tempat yang jauh dari rumah. Banyak deh dolanan yang masih bisa dikenang.

Usai ke rumah anak, kami sengaja lewat jalan lain untuk menuju desa Wringin putih. Kami pun sampai Ungaran belok ke timur.  Sepeda motor terus melaju dengan kecepatan sedang. Berdua menyusuri jalan yang lumayan bagus dan luas. Setiap saat saya selalu memantau tulisan petunjuk jalan. Berliterasi saat bepergian amat dibutuhkan. Berkat literasi dan petunjuk jalan akhirnya kami sampai di desa Kalongan. Jalan terus tiada henti. Alhamdulillah jalan mulus.

"Pak, gak usah ngebut. Intinya kita menikmati perjalanan," ucapku sambil memandang perkampungan.  Lama tak mboceng sepeda motor rasanya agak pegel juga badan ini. Maklum bukan ABG lagi.

Tak terasa sampai di kebun karet. Angin semilir menyentuh tubuh. Sejenak kami mampir untuk menikmati es kelapa muda ( sudah saya ceritakan yang lalu). Tenggorokan rasanya segar.

Dokpri 

Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan. Sampailah kami di PTP Perkebunan Ngobo. Inilah wilayah tempat masa kecil. Kira-kira kelas 4 SD. Berapa puluh tahun yang lalu.  Kami berdua masuk gang.  Menuju perkampungan.

Dokpri 


"Yang mana rumahe Ibuk," tanya suami.
"Pelan-pelan saja jalannya," jawabku sambil melihat rumah-rumah lama.
Namun sampai di ujung jalan tak juga menemukan rumah dari kayu dengan halaman luas. Ya, sudah puluhan tahun sehingga tak bisa dikenali lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline