Lihat ke Halaman Asli

Badriah Yankie

Menulis untuk keabadian

Cerpen | Menanti Fitri

Diperbarui: 23 Mei 2019   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

olah pribadi

Telah lama Ayah berharap mendapatkan pekerjaan yang menurutnya sesuai dengan keahliannya. Ayah mengaku, terlalu banyak yang dia bisa sehingga tidak tahu harus memilih keahlian mana yang mampu dijadikan sandaran kerja. 

Kebingungan memiliki terlalu banyak kompetensi menjadikan Ayah selalu gagal menempati satu kubikel di ruang kantor manapun. Ayah sanagat piawai memainkan kata, idenya mengalir tiada habis dan semuanya hanyut bermuara di kolam kata-kata, tidak pernah menjadi sebuah aktivitas nyata yang membawa angka pada kertas bergambar Presiden pertama Indonesia yang berlatar warna merah muda.

Fitri sering memberikan sekadar ide pada Ayah agar bisa memulai menggerakkan otot,  selain otot lidah, untuk mengimbangi gerak ide yang berbusa-busa tanpa menjelma uang. Fitri terlalu tidak tega melihat Ibu membanting tulang menghidupi ide-ide Ayah. 

Fitri sangat tahu, Ibu tidak akan pernah mengeluh tentang kehebatan Ayah membela diri pada saat orang bertanya apa tidak malu menumpang hidup pada istri. Ibu akan dengan tenang mengambil jalan tengah dengan berkata, "Ayah menjadi bapak yang tidak mampu menghidupi keluarganya, itu salah Ibu. Sebagai istri, Ibu tidak mampu berperan seperti para istri pada umumnya. 

Istri yang berhasil adalah istri yang mampu mendorong suaminya setiap pagi membuka pintu, berangkat mencari nafkah, dan sore hari pulang membawa kabar harapan bahwa hari ini bisa makan. Ibu tidak pernah berhasil melakukan itu pada Ayah. Ayah memiliki lebih banyak kata untuk meminta ulur waktu sampai menemukan pekerjaan yang tepat."

Mendengar kata-kata Ibu, Ayah akan diam saja, memberikan reaksi netral agar Fitri tidak mengeluhkan betapa miskinnya keberanian Ayah untuk memulai sebuah kerja. Begitu kokohnya keyakinan Ayah bahwa dirinya orang hebat yang sedang mencari pekerjaan yang tepat. Ayah tidak cocok bekerja di bawah telunjuk seseorang, karena kecerdasannya. Ayah tidak pantas menjadi bawahan, karena kecerdikannya.

Ayah melegitimasi, Ibu memang salah. Salah karena telah menjadikannya pria yang paling beruntung di dunia. Salah satu keberuntungannya adalah Ayah bebas berkata-kata. Mengatai Ibu sebagai wanita beruntung yang diangkat derajatnya sehingga menjadi perempuan berstatus istri. 

Ibu harus bersetuju bahwa kekayaan Ayah adalah nasihat, ide, dan pendapat tentang segala ikhwal dunia, termasuk pernikahan ideal seperti yang dimilikinya sekarang.

"Rumah tangga Ayah adalah gambaran bersatunya dua orang yang masing-masing menjadi setengah dan genap menjadi satu jika berdua. Itu adalah matematika rumah tangga," begitu ucap Ayah pada Fitri. Fitri mendengar penjelasan Ayah dengan sedikit kerut. 

Dalam pikirnya, bersatu tidak cukup untuk menjadi acuan rumah tangga sakinah secara matematis kehidupan. Seorang ayah perlu memberikan isi dompetnya kepada istrinya, ayah seperti itu terlihat seksi di mata Fitri, selaku anak.

Fitri mengetahui dengan baik ketika Ayah mendorong Ibu untuk mempertaruhkan seluruh uangnya untuk memulai pekerjaan yang menurut Ayah paling cocok:  merebut satu kursi Caleg. Ibu dengan segala kebosanan melayani Ayah yang terlalu kaya ide, membiarkan gajinya selama 10 tahun ke depan, lengkap dengan bunganya, digadaikan di bank. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline