Lihat ke Halaman Asli

Munir Sara

TERVERIFIKASI

Yakin Usaha Sampai

Tak Ada Pesta yang Abadi

Diperbarui: 30 Juli 2022   11:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (foto : istimewa)

Pepatah lawas mengatakan "No Party That Never Ends." Tak ada pesta yang abadi. Selama 23 bulan beruntun, neraca dagang RI alami surplus. Namun, euphoria windfall commodity akan melandai. Pesta akan usai. Konsolidasi fiskal akan menuai tantangan.

Berbagai lembaga internasional merilis, tren penurunan harga komoditas. Baik energy, metals, agriculture dan industrial. Pesta akan berkakhir ! Sektor inilah menjadi sumber berkah penerimaan negara.

APBN berjalan surplus Rp.73,6 triliun. Ini semacam blessing in disguise di tengah-tengah situasi global uncertainty. Surplus APBN itu diperoleh dari selisi pendapatan agregat dan belanja negara agregat.

Kenapa saya sebut uncertain? Karena ancaman  resesi global, inflasi yang masih tinggi, fluktuasi harga energi dan pangan serta pengetatan moneter negara maju. Fluktuasi atau volatilitas pasar, tidak selamanya buruk bagi sebuah entitas. Seumpama negara, bila dalam kondisi fundamental yang kokoh.

Namun negara dengan fiscal vulnerability, akan berisiko bila terjadi volatilitas pasar. Karena akan menggeser asumsi makro ekonomi yang telah ditetapkan. Indonesia misalnya, kala terjadi fluktuasi crude price, kuota BBM subsidi jebol, beban APBN meningkat, utang bertambah. Sehingga volatilitas pasar, berisiko terhadap stabilitas ekonomi. Namun bisa juga memetik berkah, bila fundamental kokoh, sehingga pasar spekulasi sebagai medium menyerap dana publik bisa mempertebal likuiditas nasional.

Kembali ke soal surplus APBN semester I 2022. Berkah terselubung ini, ditopang dua hal. Pertama, commodity boom dan kedua, tahun baseline penerimaan (pajak) yang lebih redah (pengakuan Menkeu). Perlu diingat, commodity boom ini sifatnya cyclical. Harga komoditas akan alami normalisasi, seiring dinamika permintaan global.

Pada sesi penurunan harga komoditas, APBN akan menghadapi tantangan konsolidasi fiskal.  Karena windfall tax perlahan akan melandai. Artinya, penerimaan negara tak semuncer sebelumnya. Oleh sebab itu, euphoria windfall commodity, harus dibarengi dengan langkah-langkah fiscal sustainability.

Saya baca disalah satu media nasional papan atas, sesumbar dia menyebutkan, bahwa nilai moneter PDB bisa mencapai Rp.17.000 T - Rp.18.000 T. Puji Tuhan ! Masya Allah !

So, dengan PDB yang tambun ini, apa iya tax ratio hanya mangkrak di single digit? Kue ekonomi yang besar, tapi sumber utama dompet negara tak begitu membahagiakan. OECD baru-baru ini pun merilis, tax ratio RI, berada paling buntut, diantara negara maju dan  peer countries.

Ada sektor PDB yang gemuk, tapi sayang menjadi hard to tax sectors alias sektor yang sulit dipajaki. Seumpa sektor pertanian dan UMKM. Dua sektor ini mendominasi struktur ekonomi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline