Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Awal

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seri: Si Fulan di Negeri Nelangsa

Dalam pekatnya malam yang tak berbintang. Fulan berjalan menelusuri jalan-jalan di kota kelahirannya. Menikmati saat-saat kesendirian, merenung dan berkontemplasi dalam lanturan khayal yang merambat kemana-mana. Ditemani oleh temaram lampu-lampu jalan dan gedung-gedung tinggi yang menjulang perkasa bak raksasa angkuh yang mengangkangi segala yang ada di bawahnya. Diguyur oleh rintik-rintik gerimis yang meluncur satu-satu, bagai terusir dari langitnya. Bertingkah lentik dengan membasahi apa saja yang dijatuhinya, perlahan tapi pasti. Padat berisi pada mulanya, pecah terburai pada akhirnya. Semilir angin dingin yang berhembus tak menyurutkan niat Fulan untuk menikmati malam itu.

Jalan-jalan yang dilalui bukanlah jalan-jalan yang asing. Hampir setiap hari dilewatinya dengan berkendara sepeda motor maupun mobil milik orang tuanya—paling banter dengan angkutan umum, belum pernah dengan berjalan kaki. Namun malam itu, jalan-jalan itu terasa memancarkan suasana yang berbeda. Ia merasa menemukan banyak hal-hal baru yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Mungkin ada benarnya juga ungkapan Che, pikirnya, "Berjalanlah susuri negerimu, kelak kau akan tahu bangsamu....”

"Ya, bahkan seorang Che Guevara menyuruh untuk berjalan, bukan berkendara", pikir Fulan, memaknai kata-kata itu secara literal, sambil tersenyum dalam hati.

Di sebuah warung tenda kecil ia mampir, menu sepiring nasi goreng dan segelas bandrek hangat menggoda seleranya. Sepanjang hari itu, ia lupa makan, karena dikejar-kejar pekerjaan yang menuntut untuk segera diselesaikan hari itu juga. Di dalam warung, hanya ada sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran, seorang bapak tua yang asyik mengepulkan asap rokok dari mulutnya, dua orang pemuda berpakaian necis yang tampaknya adalah rekanan bisnis satu sama lain, dan sepasang suami istri berusia tengah tiga puluhan yang tidak lain adalah pemilik sekaligus pelayan warung tenda itu.

Sembari menunggu santap malamnya tersaji di meja, pikiran Si Fulan kembali melayang-layang tak tahu arah. Ia melirik dua orang pemuda necis, dan menerka-nerka apa pekerjaan mereka, berapa gaji mereka, bahagiakah hidup mereka, dan beribu pertanyaan lain. Lalu ia teringat seorang sahabat lamanya ketika masih duduk di bangku SMU dulu. Seorang sahabat yang telah dianggapnya bagai saudara kandungnya sendiri. Seorang sahabat yang mengenalkannya dengan alat-alat musik; gitar, drums, dan bass. Seorang sahabat yang dengannya ia bisa tertawa lepas, menertawakan apa saja, bahkan menertawakan kehidupan. Namun persahabatan mereka harus terpisah oleh jarak, ketika mereka memutuskan untuk kuliah di tempat berbeda. Lima tahun berlalu, ia pulang kembali ke tanah kelahirannya, dan ia sempat bertemu dengan sahabat lamanya, yang kini menurut sebagian besar orang—juga dirinya, telah sukses dan mapan. Namun sahabat lamanya itu tidak lagi sama seperti sahabat lama yang dikenalnya dulu. Sahabat lamanya itu telah berubah drastis, bergaya hidup necis, perlente, dan hanya suka berbicara seputar hal yang penting-penting saja—hal-hal yang dianggapnya dewasa dan dapat menghasilkan uang. Setiap saat setiap detik adalah keseriusan baginya. Tidak ada lagi senda gurau dan ejekan-ejekan pandir seperti dahulu kala.

“Nak, ini nasi goreng dan bandrek pesanannya,” suara sang ibu warung membuyarkan lamunannya. Fulan menyahut sembari mengucapkan terima kasih.

Kepulan asap hangat dari piring nasi goreng membangkitkan selera makan. Sendok demi sendok nasi di piring berpindah ke mulut, kemudian terjun bebas ke pencernaan, untuk kemudian diproses dan diubah jadi energi. Saat sedang menikmati santap malamnya, Fulan dikagetkan oleh seorang anak kecil berpakaian kumal yang menengadahkan tangan mungilnya ke arahnya, sekilas terlihat kuku-kuku tangan yang kotor dan kehitam-hitaman. Dengan muka memelas dan nada suara mengiba, si anak meminta belas kasihan dari Fulan dan orang-orang yang ada di warung itu. “Kak, minta uang kak… Saya sejak tadi siang belum makan….”

Karena merasa tidak tega, Fulan menyorongkan beberapa lembar uang ribuan ke tangan si anak. Dengan muka berseri-seri, si anak mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi setelah mulutnya berkomat-kamit mendoakan orang yang telah berbuat kebaikan, yang hanya ditimpali dengan ‘amin’ oleh Fulan.

Lanturan kembali menggerayangi pikirannya, betapa anak sekecil itu harus mengharap iba dan belas kasih dari orang lain. Mondar-mandir di jalanan. Tak kenal waktu, pagi-siang-sore-malam. Berpanas-panas dan berhujan-hujan. Eh, tunggu dulu, apa katanya tadi? Belum makan seharian? Entah benar entah tidak. Bilapun benar, Fulan merasa beruntung karena dapat turut membantu menyambung hidup anak dengan muka memelas itu. Namun, bila si anak hanya bersandiwara, berbohong, mencocok-cocokkan mimik muka sedih, mengiba sejadi-jadinya ke orang lain, bahkan tidak jarang seperti beberapa gepeng yang pernah ditemuinya di perempatan lampu merah; menggendong seorang bayi yang diaku-aku sebagai adiknya—atau pula berdandan laiknya orang cacat, hanya demi recehan yang entah digunakannya untuk keperluannya sendiri; mengisi perut dan lainnya. Atau mungkin pula nun jauh di sana, centeng-centeng pemeras yang berlagak pengayom anak-anak jalanan sedang menghitung rupiah; seribu-dua ribu-sepuluh ribu-lima puluh ribu-atau bahkan ratusan ribu, hasil peras keringat dari para kuli jalanannya, sembari tersenyum sumringah membayangkan literan air kesenangan duniawi akan membasahi kerongkongannya sebentar lagi.

"Nak, kok melamun saja? Makanannya nanti keburu dingin," bapak tua perokok itu menariknya kembali ke alam sadar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline