Lihat ke Halaman Asli

suray an

A Daddy of Two

Ungkapan Perasaan atas Novel "Tamu Kota Seoul"

Diperbarui: 19 Juni 2020   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah Resensi? Mungkin iya & mungkin bukan. Namun...yang pasti ini adalah sekedar tuangan perasaan yang saya rasakan saat saya membuka lembar demi lembar yang terbagi sepanjang 32 bagian di dalam novel "Tamu Kota Seoul" karya Yustri Fajar. Terbit Desember 2019.

Yang pasti, ada satu hal yang masih (dan mungkin akan terus) membikin saya terkekeh-kekeh bahkan saat menuangkan ini. Saya akhirnya tersadarkan bahwa nama panggilan saya adalah Musafir, sementara itu saya beristrikan seorang wanita nan fitri bernama Fitriyah.

Jadi, jika Anda selama ini memanggil saya dengan sebutan "Pak Suray" maka Anda telah salah alamat, karena nama panggilan saya (mungkin seharusnya) adalah "Pak Musafir"!!! hehehe.  Bagaimana mungkin? Ouuu mungkin saja!

Itulah perasaan (atau pengetahuan?) yang saya rasakan saat menyelami dunia Pak Jagat, seorang dosen tamu dari Indonesia yang ditugaskan mengajar Sastra Indonesia di Jurusan Malay & Indonesia di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) di kota Seoul. Simpelnya, Pak Jagat adalah salah satu tokoh di novel "Tamu Kota Seoul" itu.

 Lho, HUFS kan kampus saya menempuh kuliah S3 yang maunya 4 tahun tapi molor menjadi 6 tahun. Jadi, latar belakang novel ini saja sudah dari awal membuat saya terlilit dan kepincut untuk membacanya. Lho, ternyata lagi, di dalam novel Pak Jagat dikisahkan bertetanggaan dengan Pak Musafir yang katanya adalah dosen UGM yang sedang S3. Hmm, kog seperti saya dulu, ya?

Sebentar, sebentar, sebentar.....memang dosen-dosen UGM yang pernah kuliah S3 di HUFS hanya saya? Hehehe....tidak juga sih. Karena ada yang lain. 

Namun, ternyata Pak Musafir yang jadi tetangganya Pak Jagat saat tinggal di Seoul itu digambarkan punya dua anak yang bersekolah di Korea dan setiap hari anaknya pakai bahasa Korea. Istrinya ikut lagi menemani sang suami. 

Nah, lho. Bagaimana saya tidak langsung berkesimpulan dan (bangga) bahwa jangan-jangan Pak Musafir itu mirip atau malah didasarkan dari kisah kisah hidup saya? Hehehe. Jika disuruh memilih semoga ini benar atau salah, maka saya berharap ini benar. 

Anyway...itulah yang membuat saya masih terkekeh-kekeh tanda takjub dan kesengsem dengan gaya berceritanya mas Yusri Fajar yang saya akui sangat pintar mengkhayal tingkat tinggi namun berisi. Dia pun mampu menerbangkan kalimatnya dengan detil-detil rumah, apartemen, jalanan, musim, stasiun subway di kota Seoul yang menjadi background kehidupan Pak Jagat. 

Apalagi pas novelnya mengulik bagaimana Pak Jagat melalui hari-harinya di stasiun Hwarangdae, Deoljogi, Seoggyae, Taereung, Shinimun dll yang memang sangat amat dekat dengan pengalaman saya selama hidup di Seoul selama lebih dari 6 tahun. Saya hanya bisa menilai bahwa seorang Yusri Fajar memang orang yang jeli, gemesan, dan inquisitive saat memandang sesuatu. Saya jadi penasaran berapa lamakah mas Yusri tinggal di Seoul. Hmmm, seingat saya Mas Yusri sekedar berkunjung bukan untuk menetap. Dia pun juga "tamu" sama seperti Pak Jagat dan Pak Musafir yang jadi tokoh-tokoh novelnya.

Uniknya, Mas Yusri ini jadi seorang "tamu" yang daya ingatannya super duper tajam. Bagaimana tidak, seluruh bagian novelnya penuh dengan narasi dan deskripsi yang unik terkait sudut-sudut kampus di HUFS dan apartemen reot dan tua yang ditempati Pak Jagat, bahkan nama-nama satpam apartemennya saja sampai tahu (hmm kalau ini mungkin dibuat-buat?). Saya jadi penasaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline