Lihat ke Halaman Asli

Surat Cinta Hutan Perawan

Diperbarui: 18 Maret 2019   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sungguh. Elegi ini telah lama. Telah!

kisah kepak-kepak kapak berobah raungan mesin-mesin bising mengitari rimba,
mengunyahi belantara
menghantui tetelur rajawali
dan bayi-bayi kelinci yang belajar bermimpi.

Para generasi Adam seolah dendam
pada Eden dan pada surga

Yang seolah tak takut kepada neraka hingga terus memilih durhaka pada segala

Aduh hajar waktu!
Oi amuk hantu bebukit yang bangkit mengirimi surat-surat kiamat!

Kenapa tak kau peduli entah sesiapa salah,
hingga harus kau lahap habis dan kau kubur rata mereka dalam luap lelumpur amarahmu?

Ampun seribu ampun dari kami.
para yang tak tau-menau tentang pesta-pora gergaji mesin yang masih membabi-buta di belantaramu.

Ampun ya arwah-arwah hutan perawan.
Atau wahai air mata para paguyuban penghuni rimba yang terlanjur telah tinggal kulit dan gading.
Dan taring belulang.

Berhentilah menangis, wahai para akar-akar dan ranggas dedaun yang terjagal oleh para beringas.

Berhentilah menjenguk paksa rumah di kota-kota dan desa yang terangkai dari pedih kucur darah tulang-belulangmu.

Samosir, 16/03/19




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline