Lihat ke Halaman Asli

Adik Kelasku, Kita Bukan Penghianat

Diperbarui: 17 Februari 2017   14:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="senja"][/caption]"Bagiku, takdir adalah getir yang paling keji. Getir yang tak seorangpun bisa menepisnya. Pahit-getirnya jauh melebihi petir yang selalu menghantui di telinga.

Takdir telah menghantarkanku ke sebuah masa yang dinamakan jodoh atau kehendak tuhan. Teman hidup terakhir yang oleh sebuah ritual pernikahan telah disepakati untuk menjalani hidup seatap dan kemudian beranak-cucu dalam segala kisah-kisahnya. Mencicipi siang dan malam, menikmati senja dan subuh dalam serangkaian warna-warni suka-duka menghitung matahari terbit dan terbenam.

Bagi setiap yang tak berjodoh, bukankah takdir ialah hantu? Ya. Takdir bahkan terlalu sering dipertopeng dan diperalat banyak orang untuk sengaja mencipta berbagai perpisahan antara pasangan kekasih di muka bumi ini. Baik oleh kaum lelaki, pun kaum hawa yang silih berganti pernah tampil menjadi dalang untuk saling melupa dan saling meninggalkan. 

Mungkin banyak orang yang menyalahgunakan takdir menjadi jurus ampuh mereka untuk pergi menterlantarkan sebuah hubungan hati yang pernah ada dikala suatu saat sepihak itu telah mulai merasa jenuh dan bosan bersama pasangannya. Kata orang, takdir memang kejam. Apa kabarmu, hei adik kelasku. Untuk apa kau usik lagi ingatanku yang telah belasan tahun kujadikan jadi tugu di ingatanku?" Serentetan balasan inbox kulayangkan juga lewat tombol di Messanger.

"Jangan tanya kabarku. Aku sedang sakit. Rindu. Aku cuma ingin bertemu. Ingin jumpa, meski itu cuma sekali. Belasan tahun aku kehilanganmu. Izinkan kita bertemu. Ya, abang kelasku. Boleh, ya." Beberapa menit aku tertegun. Bolak-balik membaca. Kupastikan berulang-kali. Huruf-demi huruf, kata demi kata. Dia adik kelasku. Yang belasan tahun lalu pernah kujadikan kekasih. Kala itu masih di bangku SMA di kampung halaman. Hampir dua tahun itu kami jalani. Hingga oleh jarak, akhirnya kami mesti terpisah saat aku harus melanjutkan study di sebuah kota luar provinsi. Dia tetap di kampung. Masih SMA, aku berada jauh di rantau. 

Berhari-hari inboxnya belum kubalas. Aku bingung. Bingung atas ungkapan rindunya. Katanya dia sakit. Rindu, dan ingin sekali bertemu. Aku bingung, karena aku tau disini aku malah bahkan jauh lebih sakit dari rindu yang dia rasakan. Mungkin dia tak pernah tau itu. Tak pernah. 

Karena belum kubalas, berkali-kali desakan ketemuan darinya terus hadir menghiasi di layar messanger. Maaf jika cuma dibaca. Gumamku dalam hati.

"Maaf jika baru kubalas. Sumpah, aku masih bingung. Sangat. Aku takut. Sepertinya aku tidak bisa. Tapi, ternyata sepertinya akulah yang ternyata lebih perlu ingin bertemu denganmu. Aku juga sakit. Sama, serangan rindu. Apa mungkin kita bisa bertemu lagi?" Tanyaku memberanikan diri memecahkan kebekuan komunikasi beberapa hari terakhir. 

"Adik kelasku, maafkan. Aku tak punya sayap. Bagaiapa kita akan bisa berjumpa, sementara kita kan berada di hujung dua pulau yang sangat jauh?" Susulku mencoba menenangkan jiwa yang semakin kebingungan.

"Sudah. Aku sudah atur pertemuannya. Dengar, minggu depan di antara Tanggal 13 sampi 15 Pebruari pertengahan bulan depan, aku akan ada kunjungan kerja di pulaumu. Kumohon, luangkan waktumu sehari saja. Atau satu jam saja. Atau semenit saja atau sedetikpun andailah cuma itukah sanggupmu mengobati rinduku. Aku cuma perlu kita bertemu. Bagiku itu akan melebihi segalanya. Semoga abang kelasku setuju. Tunggu aku di pulaumu." Kata-katanya telak memudarkan kebingunganku berganti menjadi degup kencang yang tak terterjemahkan dengan kamus apapun. Bulan depan, sebuah pertemuan akan terjadi. Setelah belasan tahun tanpa kabar. Setelah belasan tahun saling menguburkan rindu dalam hati yang kalah pada takdir dan jarak.

"Sampai jumpa bulan depan di pulauku, adik kelasku. Jangan lupa bawa oleh-oleh." Balasku di papan messanger mengakhiri percakapan siang itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline