[caption id="attachment_143971" align="alignleft" width="180" caption="Jagung Bose"][/caption] Untuk menikmati menu khas Pulau Timur yang satu ini, bukan pekerjaan yang mudah, karena untuk meraciknya harus memiliki peralatan tradisional seperti lesung dan alu. Dua benda tradisional ini biasanya dipakai untuk meracik jagung bose.
Namanya juga jagung bose, yang artinya, jagung yang di-bose-kan (dilunakkan). Dalam bahasa Baranusa di sebut "wata kolu". Biasanya jagung bose ditumbuk dengan lesung untuk mengeluarkan kulit luar biji jagung. Jagung yang sudah ditumbuk, teksturnya agak beda. Kelihatan permukaannya agak lunak dan serbuk tepungnya nampak. Dan untuk mempermudah, biasanya saat menumbuk, dicampur dengan sedikit air. Setelah ditumbuk hingga kulit luar biji jagung terkelupas, jagung kelihat sedikit putih. Jagung kemudian diaya untuk mengeluarkan kulit biji yang masih tersisah. Setelah itu, jagung bose siap dimasak. Biasanya, jagung bose dimasak dengan kacang merah. Karena tanpa kacang, jagung bose terasa kurang pas nikmatnya. Untuk memasak jagung bose, membutuhkan waktu yang lama. Dan lebih mantap bila jagung bose dimasak dengan kayu bakar. Karena dengan kayu bakar, aroma asam dari asap sedikit terasa, dan menambah sisi lain dari kenikmatan jagung bose. Kalau masak jagung bose di Jakarta, kita membutuhkan dua buah tabung gas. Istri saya terkadang sedikit cemberut, bila saya memintanya masak jagung bose. Karena ia harus menyediakan dua tabung gas. Agar lebih gurih, jagung dimasak hingga hancur. Demikian pun kacang, dibiarkan matang hingga warnanya menyebabkan kuah jagung menjadi agak kemerahan. Setelah terjadi perpaduan komposisi, jagung bose kemudian diberi santan hingga tiga kali peras. Setelah diberi santan, api diperkecil, hingga menunggu santan menyatu dengan jagung bose. Kira-kira sekitar 10 menit. Setelah itu, ditambah sedikit garam, agar rasa asinnya berasa di ujung lida. Jagung bose siap dihidangkan. Biasanya, kami menikmati jagung bose dengan ikan kering. Ikan kering yang sudah dibakar, dirobek kecil-kecil kemudian dilumuri minyak kelapa, cabe dan jeruk nipis. Atau bisa juga ikan bakar yang masih segar. Atau ikan kulit pasir. Jenis ikan kulit pasir ini biasanya dibakar setengah matang, lalu dikupas kulitnya, dan saat hendak makan dengan jagung bose, dicocoli dengan sambal jeruk nipis. Daging ikan ini rasanya empuk, dan berasa agak manis di ujung lida. Warna dagingnya seperti buah kelapa muda. Jagung bose terasa berkawan dimulut bila dinikmati dengan jenis ikan ini. Untuk dapat menikmati jagung bose, saya harus pesan ke Timur. Dan untuk itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Sekitar 5 hari 5 malam. Karena saya harus memesannya ke Ibu saya di kampung (Pulau Pantar) NTT. Ibu biasanya mengirim jagung bose lewat kapal laut (KM Sirimau). Itu pun bila ada teman atau keluarga yang datang ke Jakarta. Di Jakarta, saya harus membiasakan istri masak jagung bose. Meskipun ia berasal dari Ranah Minang tulen. Feeling-nya soal menu khas Timur sudah terbentuk. Maklumlah dia cukup paham, bahwa menikah bukan saja perjodohan perasaan, tapi juga perjodohan kultural, termasuk cita rasa kuliner. Terkadang, saya merasa lidah kita terlalu munafik dan western. Karena terlalu sering cita rasa kita ditaklukkan oleh masakan Eropa dan lainnya yang datang dari luar. Padahal, masakan lokal memiliki dua sisi kenikmatan sekaligus. Selain cita rasa, juga kandungan nilai. Jagung bose, selain sebagai panganan khas Timur, juga sebagai simbol identitas. Karena kalau menyebut jagung bose, yang terbayang di mind-set anda adalah orang Timur. Dengan demikian, jagung bose telah menjadi artefak. Memiliki nilai dan pesan simbol kultural. Sambil makan jagung bose, saya berfikir, apa rasanya makan jagung bose dengan lauk rendang? Atau ikan asam pade? Itu yang belum saya coba. ****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI