Lihat ke Halaman Asli

Didik Prasetyo

Live - Love - Life

Jalan Searah yang Tak Terarah

Diperbarui: 13 Agustus 2025   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalan Searah yang Tak Terarah | doc pribadi

Catatan Hari ke-3 oleh Pak Dhe

Pagi itu Kota Tenggara terbangun seperti biasa-terlambat, macet, dan sedikit tersinggung.
Di depan Pasar Induk, suara klakson beradu dengan teriakan pedagang yang menata buah di pinggir aspal.
Uji coba jalan searah masih berlanjut, meski yang diuji sepertinya bukan jalannya, tapi kesabaran warganya.

Di kota besar, jalan searah diciptakan agar kendaraan tak saling menabrak.
Di Kota Tenggara, jalan searah diciptakan agar pedagang bisa menambah lapak ke arah aspal tanpa takut ditabrak dari arah sebaliknya.

Uji coba jalan searah di depan Pasar Induk Tenggara sudah memasuki minggu ketiga.
Dulu katanya mau diuji dua minggu.
Tapi karena yang menguji juga tak yakin hasilnya apa, maka diperpanjang... dan diperpanjang...
hingga akhirnya jadi permanen karena tak ada yang sanggup bilang: "Gagal."

"Macet berkurang?"
"Ya... berkurang dari arah timur, tapi nambah dari arah barat."
Begitu kata Pak Lurah sambil mengangguk yakin seperti orang yang sedang menjawab kuis tapi lupa pertanyaannya.

Kini, jalan yang dulu dua arah itu berubah jadi satu arah.
Tapi fungsinya tetap dua arah:
angkot bisa parkir melintang di badan jalan,
motor bisa lawan arah "asal nggak ketahuan,"
dan pejalan kaki... entah sejak kapan dianggap makhluk mitologis yang tak perlu disediakan trotoar.

Satu papan rambu dipasang, lalu hilang keesokan harinya, katanya "dipinjam warga buat hajat."
Rambu lain tertutup spanduk jualan duren lokal, dengan slogan: "Manisnya Bikin Gagal Move On!"
Entah durennya, entah uji cobanya.

"Pak, ini jalannya searah, loh!"
"Iya, makanya saya arahnya yang satunya."
"Lho?"
"Lho, kan searah, bukan searah sama rambu."

Pihak berwenang menyarankan jalur alternatif.
Kedengarannya bijak.
Tapi saat dilewati, warga baru sadar bahwa "alternatif" di Kota Tenggara bukan berarti lebih baik, tapi lebih sempit, lebih jauh, dan lebih berisiko.

Jalan alternatif itu membelah kampung padat penduduk, melewati tikungan tajam dengan rumah yang nyaris menempel ke aspal.
Beberapa bagian melintasi sawah, tapi lebarnya tetap seperti nasib: pas-pasan.
Aspalnya bergelombang, tambalan tak rata, dan lubang-lubang kecil yang setia menunggu korban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline