Menurut Peter BergerTeori konstruksi sosial (sosial construction)merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori ini terkandung pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik [1]
Dunia kehidupan sehari-hari merupakan suatu yang berasal dari pikiran dan tindakan manusia, dan dipelihara sebagai yang nyata dalam pikiran dan tindakan. Dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari adalah objektivasi (pengobjektivan) dari proses-proses (dan makna-makna) subjektif dengan mana dunia akal-sehat intersubjektif dibentuk.Dalam proses pengobjektivan, Berger dan Luckmannmenekankan adanya kesadaran, dan kesadaran itu selalu intensional karena ia selalu terarah pada objek. Dasar kesadaran (esensi) memang tidak pernah dapat disadari, karena manusia hanya memiliki kesadaran tentang sesuatu (fenomena); baik menyangkut kenyataan fisik lahiriah maupun kenyataan subjektif batiniah. Seperti halnya manusia, yang juga memiliki kesadaran tentang dunia kehidupan sehari-harinya sebagaimana yang dipersepsinya.
Bagi Berger dan Luckmann, kenyataan hidup sehari-hari sebagai kenyataan yang tertib dan tertata. Fenomena-fenomenanya seperti sudah tersusun sejak semula dalam bentuk pola-pola, yang tidak tergantung kepada pemahaman seseorang. Kenyataan hidup sehari-hari tampak sudah diobjektivasi, sudah dibentuk oleh suatu tatanan objek-objek sejak sebelum seseorang hadir. Dalam hal ini, bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari terus-menerus, dipakai sebagai sarana objektivasi yang membuat tatanan menjadi bermakna[2].
Kenyataan hidup sehari-hari bersifat intersubjektif, dipahami bersama-sama oleh orang yang hidup dalam masyarakat sebagai kenyataan yang dialami. Kendatipun kenyataan hidup sehari-hari merupakan dunia intersubjektif namun bukan berarti antara orang yang satu dengan orang yang lain selalu memiliki kesamaan perspektif dalam memandang dunia bersama. Setiap orang memiliki perspektif berbeda-beda dalam memandang dunia bersama yang bersifat intersubjektif. Perspektif orang yang satu dengan yang lain tidak hanya berbeda tetapi sangat mungkin juga bertentangan. Namun,ada persesuaian yang berlangsung terus-menerus antara makna-makna orang yang satu dengan yang lain tadi. Ada kesadaranbersama mengenai kenyataan di dalamnya menuju sikap alamiah atau sikap kesadaran akal sehat. Sikap ini kemudian mengacu kepada suatu dunia yang sama-sama dialami banyak orang. Jika ini sudah terjadi maka dapat disebut dengan pengetahuan akal sehat (common-sense knowledge), yakni pengetahuan yang dimiliki semua orang dalam kegiatan rutin yang normal dan sudah jelas dengan sendirinya dalam kehidupan sehari-hari.
Kenyataan hidup sehari-hari dialami bersama oleh orang-orang. Pengalaman terpenting orang-orang berlangsung dalam situasi tatap-muka, sebagai proses interaksi sosial[3]. Dalam situasi tatap-muka ini, orang-orang terus-menerus saling bersentuhan, berinteraksi, dan berekspresi. Dalam situasi itu pula terjadi interpretasi dan refleksi. Interaksi tatap-muka sangat memungkinkan mengubah skema-skema tipifikasi orang. Perjumpaan tatap-muka yang terjadi terus-menerus dapat mempengaruhi tipifikasi orang sebagai pendiam, pendendam, periang, dan sebagainya. Pada gilirannya, interaksi itu kembali melahirkan tipifikasi baru.
Suatu tipifikasi akan berlaku sampai ada perkembangan lain, yang menentukan tindakan-tindakan seseorang. Tipifikasi yang ada pada orang-orang yang berinteraksi, saling terbuka bagi adanya campur-tangan. Skema tipifikasi itu “bernegosiasi” terus-menerus dalam situasi tatap-muka.. Tipifikasi yang ada dan baru terbentuk terjadi secara berkesinambungan.
Oleh karena itu, pandangan Berger dan Luckmann[4] dapat dimengerti bahwa kenyataan sosial kehidupan sehari-hari dipahami dalam suatu rangkaian (continuum) berbagai tipifikasi, yang menjadi semakin anonim dengan semakin jauhnya tipifikasi itu dari di sini dan sekarang dalam situasi tatap-muka. Pada satu sisi, di dalam rangkaian itu terdapat orang-orang yang saling berinteraksi secara intensif dalam situasi tatap muka; dan di sisi lain, terdapat abstraksi-abstraksi yang sangat anonim karena sifatnya yang tidak terlibat dalam tatap muka. Dalam konteks ini, struktur sosial merupakan jumlah keseluruhan tipifikasi dan pola-pola interaksi yang terjadi berulang-ulang melalui tipifikasi, dan ia merupakan satu unsur yang esensial dari kenyataan hidup sehari-hari.
Berbagai skema tipifikasi, dengan kemampuan ekspresi diri, manusia mampu mengadakan objektivasi (objectivation). Manusia dapat memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatannya yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Objektivasi itu merupakan isyarat-isyarat yang bersifat tahan-lama dari proses-proses subjektif para produsennya, sehingga memungkinkan objektivasi dapat dipakai melampaui situasi tatap-muka.
Kenyataan hidup, tentunya tidak hanya berisi objektivasi-objektivasi; juga berisi signifikasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Sebuah tanda (sign), dapat dibedakan dari objektivasi. Jika objektivasi lebih berupa ekspresi diri dalam wujud produk, signifikasi berupa ekspresi diri berupa bahasa. Namun, keduanya dapat digunakan sebagai tanda, dan terkadang kabur penggunaannya. Signifikasi bahasa menjadi yang terpenting dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan dan melalui bahasa. Suatu pemahaman mengenai bahasa, merupakan hal yang pokok bagi setiap pemahaman mengenai kenyataan hidup sehari-hari. Bahasa lahir dari situasi tatap muka, dan dengan mudah dapat dilepaskan darinya. Ia juga dapat menjadi tempat penyimpanan yang objektif dari akumulasi makna dan pengalaman yang besar dan yang kemudian dilestarikan dalam waktu dan diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya. Ia memiliki sistem tanda yang khas, yang bersifat objektif, yang tidak dimiliki sistem tanda lainnya. Ia sebagai faktisitas, yang memiliki sifat memaksa; karena memaksa orang masuk ke dalam pola-polanya.
II.2 Kontruksi Sosial Masyarakat Samin dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu
Menurut Peter berger dialektis masyarakat terhadap dunia sosio-kultural terjadi dalam tiga simultan yakni Eksternalisasi dimana individu berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungannya, dalam momen adaptasi tersebut srana yang digunakan bisa berupa bahasa maupun tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan dunia sosikulturalnya dan kemudian tindakannya juga disesuakiakn dengan dunia sosio-kulturalnya. Pada momen ini, terkadang dijumpai orang yang mampu beradaptasi dan juga mereka yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan dan penolakan tergantung dari apakah individu tersebut mampu atau tidak beradaptasi dengan dunia sosio-kultural tersebut. Yakni ketika masyarakat samin sudah berbaur dengan masyarakat pada umumnya dan mereka berada dalam sebuah lingkungan yang sama maka secara tidak langsung mereka akan berusaha mengikuti kebiasaan masyarakat pada umumnya. Begiru pula dengan pemilihan umum, dimana dalam setiap pemilu yang diselenggarakan didesa sambongrejo tersebut selalu diikuti oleh masyarakat umum, maka dengan terpaksa mereka akan mengikuti kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat supaya mereka bisa bersama dalam sebuah kelompok masyarakat yang utuh. Karena dengan proses eksternalisasi tersebut masyarakat samin berusaha beradaptasi dengan masyarakat umum yang sudah hidup dalam kehidupan sosial modern. Karena walaupun mereka dahulu adalah masyarakat yang anti pemerintah namun mereka akan berusaha beradaptasi dengan lingkungan masyarakat modern saat ini.
Kemudian Objektivasi dimana individu akan berusaha untuk berinteraksi dengan dunia sosio-kulturalnya. Didalam objektivasi, realitas sosial tersebut seakan-akan berada di luar diri manusia. Ia menjadi relitas objektif, sehingga dirasa aka nada dua realitas yakni realitas diri yang subjektif dan realitas yang berada diluar diri yang objektif. Dua realitas tersebut membentuk jaringan intersubjektif melalui proses pelembagaan atau institusional. Pelembagaan atau institusional yaitu proses untuk membangun kesadaran menjadi tindakan. Didalam proses pelembagaan tersebut, nilai-nilai yang menjadi pedoman didalam melakukan interpretasi terhadap tindakan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan sehingga apa yang disadari adalah apa yang dilakukan. Masyarakat samin yang melakukan pemilihan dalam peilu tersebut berusaha untuk berinteraksi dengan dunia sosio-kulturalnya, namun karena mereka merasa meilih dalam pemilu adalah sesuatu yang tidak pernah atau jarang dilakukan sebelumnya, maka secara tidak langsung karena masyarakat yang ada menggunakan hak pilihnya dan seiring berjalnnya waktu terjadi modernisasi yang dilakukan oleh masyarakat samin sehingga masyarakat samin akan berusaha untuk berbaur dengan masyarakt dengan tujuan mengikuti apa yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat modern pada umunya dengan harapan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosio-kulturalnya. maka terjadi proses institusionalisasi dimana mereka akan berusaha untuk memahami tengtang arti pemilu sebelum mereka menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Dan yang terakhir adalah internalisasi yaitu momen identifikasi diri dalam dunia sosio-kultural. Internalisasi adalah proses individu melakukan identifikasi diri didalam dunia sosio-kulturalnya. Internalisasi merupakan momen penarikan realitas sosial kedalam diri atau realitas sosial menjadi realitas subjektif. Realitas sosial itu berada didalam diri manusia dan dengan cara itu maka diri manusia akan teridentifikasi didalam dunia sosio-kultural. Dalam hal ini dimana masyarakat samin akan berusaha mengambil peran didalam masyarakat dengan mengikuti pemilu sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan dengan masyarakat pada umumnya dan mereka akan merasa sebagai bagian dari masyarakat pada umunya. Sehingga mereka mengidentifikasi diri denga lingkungan sosio-kulturalnya. Jadi dengan begitu didalam interaksi individu orang-orang samin dengan lingkungan sosiokulturalnya bisa dinalisa dengan tiga tahapan konstruksi yakni eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.
Karena penelitian yang dilakukan untuk mengungkap Makna Pemilu Bagi Masyarakat Samin Desa Sambongrejo Kecamatan Sambong Kabupaten Blora tentang bagaimana masyarakat memahami pemilu berdasarkan perjalanan waktu dari masa kemasa yang telah dilalui dengan melewati beberapa periode pemilu sehingga mereka bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu yang di laksanakan di Desa Mereka. Maka penelitian ini menggunakan Teori Konstruksi sosial Peter berger. Karena teori konstruksi bisa menggambarkan proses dialektika seseorang dalam mengikuti pemilu.
[1]Berger, L peter. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan/ Jakarta: Lembaga penelitian, pendidikan, dan penerangan ekonomi dan sosial hal 1
[2] Berger, L peter. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan/ Jakarta: Lembaga penelitian, pendidikan, dan penerangan ekonomi dan sosial hal 32
[3] Berger, L peter. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan/ Jakarta: Lembaga penelitian, pendidikan, dan penerangan ekonomi dan sosial hal 41
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI