Lihat ke Halaman Asli

Shri Werdhaning Ayu

Manusia Brang Wetan

Kuliah? Tak Harus Sampai Jual Sawah (Karena Memang Tak Punya Sawah)

Diperbarui: 4 April 2022   11:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hai kawans. Kalian yang sudah mengenal saya pasti tau apa yang akan saya tuliskan dengan judul di atas tersebut. Saya akan menceritakan riwayat pendidikan saya, sejak SD hingga saat ini, termasuk biaya yang saya keluarkan selama ini. Saya memang salah satu beban negara, yang membebani Indonesia ini untuk menanggung biaya pendidikan sejak kelas 2 SD hingga saat ini menempuh pasca sarjana. 

Banyak yang mengatakan bahwa kuliah untuk anak-anak akar rumput semacam saya, hanyalah mimpi dari pungguk yang merindukan rembulan. 

Apakah salah? Tentu saja tidak. Mengingat saya sendiri telah menemui orang-orang yang harus menjual sawah, ladang, kontrakan, kendaraan, perhiasan, dan aneka barang berharga lainnya demi menempuh pendidikan.

Saya menempuh SD di sekolah dasar negeri. Tahun 2003 pada waktu itu, saya masih belum genap berusia 6 tahun. Masuk SD pada masa saya harus menjalani tes baca, tulis, dan wawancara. Kompleks sekali. Dan saya berhasil menduduki peringkat kedua, membuat saya mendapat keringanan pembayaran SPP selama 6 bulan pertama. 

Masa itu, memang, sekolah dasar masih harus berbayar. Program pendidikan gratis masih belum ada.  Banggakah saya menduduki peringkat kedua? Jelas dong. Meskipun baru tau bangganya setelah lulus kuliah.

Tahun demi tahun berlalu, saya tidak pernah benar-benar ingat tentang biaya pembelian buku yang harus dikeluarkan waktu sd. Seingat saya, untuk menghemat uang, saya lebih sering memilih memfotokopi LKS ataupun buku paket (maafkeun para penulis ). Tidak ada biaya yang benar-benar besar karena tidak lama, sekitar saya mau naik ke kelas 2, program wajib belajar 9 tahun sudah diluncurkan.

Kelas 6 SD pada waktu itu ketika saya duduk bersama teman-teman senasib (dari keluarga akar rumput), saling merenungkan sekolah menengah pertama yang akan kami tuju. Sekolah terbaik di kecamatan saya, tentu saja SMP Negeri 1. 

Persaingan untuk masuk ke sana sangat ketat, dan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Apakah saya ingin masuk ke sana? Tentu saja. Tetapi lokasi yang cukup jauh +- 2 km, dengan saya yang tidak memiliki kendaraan apapun, membuat saya harus berfikir ulang berkali-kali. 

Ada seorang kawan pada waktu itu, yang baru berhasil saya ingat detik ini ketika saya menuliskan masa yang lucu itu, memberikan semangat sekaligus informasi bahwa di SMP Negeri tersebut, seorang siswa bisa mendapatkan uang dengan cara menulis di majalah sekolah. 

Entah karena apa, saya nekad mendaftar ke sekolah tersebut dan diterima. Saya senang, meskipun banyak yang marah karena pasti ada banyak sekali biaya yang harus disiapkan untuk salah satu sekolah terbaik. 

Ah, tapi memang dasarnya rejeki saya. Program wajib belajar 9 tahun berjalan, saya mengurus surat keterangan tidak mampu dari desa untuk mendapatkan keringanan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline