Lihat ke Halaman Asli

Wiwien Wintarto

TERVERIFIKASI

Penulis serba ada

Sungguhkah Adegan Kekerasan "Dragon Ball" Mengancam Kita?

Diperbarui: 19 September 2015   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Foto: teespring)"][/caption]

Lagi, sebuah tayangan televisi disemprit KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) karena mengandung muatan kekerasan. Kali ini yang terkena “kartu kuning” adalah serial anime Dragon Ball, yang tayang di Global TV. Namun beda dari sempritan lain, edisi kali ini mengundang banyak pertanyaan karena berbagai faktor.

Yang paling utama, para fans DB menganggap bahwa porsi adegan kekerasan di serial tersebut tidaklah terlalu dominan. Selain itu, banyak pula pesan positif yang diberikan serial yang diangkat dari manga populer karya Akira Toriyama itu.  Pertanyaan bisa pula dialamatkan pada timing-nya. DB sudah beredar di Indonesia sejak pertengahan 1990-an. Kenapa baru diongkek-ongkek sekarang?

Bagi saya sendiri, yang adalah tukang bikin cerita sekaligus aktivis amatan tayangan TV plus literasi media, kerutan di dahi muncul lebih karena persoalan lain yang lebih substantif. Sesungguhnya pada titik mana kandungan kekerasan (dan juga hal-hal jelek lain) di tayangan televisi layak untuk dipermasalahkan?

Adegan kekerasan baik yang fisik maupun verbal secara apa adanya memang keliru. Tak layak muncul karena bisa ditiru anak-anak dan remaja. Namun kalau baku pukul dan orang membentak-bentak sadis misalnya, muncul dari tayangan dokumenter semacam 86 di Net yang menghadirkan petugas reskrim menjotos dan membentak preman yang melawan aparat, apakah layak tayangan itu juga disemprit karena muatan kekerasannya?

Bertitik tolak dari paradigma ini, segala sesuatu baru dapat diberi penilaian sesudah dilihat konteks yang menyertainya. Pisau memang menyeramkan. Bisa digunakan untuk melakukan pembunuhan secara efektif. Tapi apakah karena itu lantas semua pisau harus dilarang keberadaannya di dapur rumah-rumah kita?

Vonis tak bisa diberikan semata berdasar keberadaan pisau, tapi konteks apa yang menyertainya. Jika eksistensi pisau diberi konteks berupa aksi penodongan, sudah pasti si pisau bersalah. Namun jika konteksnya berupa adegan sadis mengiris-iris bawang, kubis, wortel, dan suwiran daging ayam untuk bikin sop, value yang melekat pada pisau menjadi amat berlawanan.

Maka pertanyaan pun bisa diberikan dalam kasus DB. Pada titik konteks yang bagaimana sehingga adegan kekerasan pada DB bisa dinyatakan sebagai sesuatu yang merugikan?

Faktanya, DB adalah sebuah serial bergenre fantasi, fiksi ilmiah, aksi, dan petualangan yang menampilkan tema seni bela diri alias martial arts. Adegan-adegan kekerasan hadir karena dua alasan: menyesuaikan konteks genre cerita, plus urgensi berdasarkan tema. Lha kalau kemunculan adegan adu jotos dalam sebuah serial atau film laga dipermasalahkan, terus penonton mau disuruh nonton apa?

Apa ya tiap kali Iron Man, Hulk, dan Captain America ngantemi anggota HYDRA di film-film MCU (Marvel Cinematic Universe), pihak LSF perlu menambahkan tulisan “Adegan berbahaya; dilakukan oleh profesional!” atau “Adegan ini menggunakan properti yang tidak berbahaya”, biar tidak ditiru anak-anak dan ABG yang menontonnya?

Dilihat dari hukum berpikir ini, adegan kekerasan (yang aslinya jelek) justru menjadi perlu di DB, karena sesuai konteks dan memenuhi urgensi. Pencegahan dari kemungkinan aksi peniruan bisa dilakukan dengan memagari tayangan itu melalui klasifikasi usia pemirsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline