Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (Second)

Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Pemimpin Itu Menjadi Wadah Perasaan Bawahannya

Diperbarui: 15 Mei 2021   22:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Merdeka.com

Menjadi pemimpin itu terbilang sulit. Karena apapun yang pimpinan pikirkan atawa pimpinan lakukan, akan menjadi perhatian bahkan masuk ke relung-relung persepsi bawahan yang paling dalam. Setiap anggota organisasi akan mencontoh pimpinannya, baik perilakunya, ucapannya, maupun pikiran pimpinannya itu. Karena itulah, saya mengakui bahwa menjadi pimpinan itu tidaklah mudah.

Pemimpian itu harus tegas dan komit terhadap keputusannya sendiri. Inilah yang saat ini sulit kita temukan di banyak organisasi. Alasannya sederhana, "lha wong situasinya aja berubah kok, masa kita harus memegang komitment." Itu kata pemimpin yang lupa bahwa keputusan yang diambil di depan banyak orang mestinya wajib dilaksanakan. Inilah yang biasanya kita sebut sebagai pemimpin tanpa kepemimpinan?!

Dokumentasi pribadi

Menyadari banyaknya kasus pemimpin tanpa kepemimpinan ini, saya tidak akan pernah lupa dengan sosok pemimpin yang berkharakter satu ini. Sebab, saya mengalami sendiri, di mana seorang pemimpin tidak pernah peduli, apalagi menjadi wadah perasaan, bagi anggotanya. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri, jabatannya, bahkan mungkin salary-nya. 

Pemimpin semacam ini akan banyak membawa korban. Namun demikian, saya tidak pernah kuatir, karena di luar hukum positip yang ada, tentang penyalahgunaan wewenang, ternyata masih ada hukum alam yang bekerja untuk segera menghabisi para pemimpin yang tidak memiliki kepemimpinan itu.

Seorang yang memiliki sebutan pimpinan, merupakan jabatan formal dalam suatu organisasi. Biasanya, orang menyebutnya sebagai kepala, ketua, manajer, bos atau direktur. Kepemimpinan adalah isi utama dari seorang pemimpin, termasuk nilai-nilai yang ia miliki di dalam membuat keputusan. Pemimpin tanpa kepemimpinan sama seperti sekolah tanpa pendidikan, itu tak berguna, dan justru menghambat perkembangan bawahannya, bahkan organisasi itu sendiri.

Pada masyarakat kita, saya menyaksikan sendiri hadirnya sosok pemimpin tanpa kepemimpinan. Orang memegang jabatan tinggi di berbagai organisasi, baik itu pemerintah, bisnis ataupun institusi pendidikan tinggi, namun tak memiliki nilai-nilai kepemimpinan. Biasanya, mereka menduduki jabatan tinggi itu bukanlah karena prestasi yang baik, melainkan karena politik menjilat yang mereka lakukan dengan gencar kepada pemimpin diatasnya atawa pemimpin sebelumnya.

Bagi pimpinan yang memiliki jiwa dan nilai-nilai kepemimpinan bisa kita lihat dari tiga hal yang sangat fundamental. Pertama, seorang pimpinan sudah semestinya memiliki jiwa ksatria. Ia berani berkorban untuk orang-orang yang ia pimpin, demi kebaikan bersama seluruh organisasi, dan masyarakat luas. Tanpa sikap ini, seorang pemimpin akan jatuh menjadi pengecut yang akan mengancam keberadaan seluruh anggota organisasi.

Kedua, seorang pemimpin sejati perlu memiliki dua hal, yakni visi panjang ke depan yang terumuskan secara baik dalam strategi jangka panjang, serta sikap pragmatis untuk mewujudkan visi tersebut secara nyata dan bertahap dalam kerja sehari-hari. Tanpa visi yang jelas, kebijakan sehari-hari menjadi tanpa arah. Tanpa sikap pragmatis, visi yang dicantumkan hanya menjadi mimpi semata.

Ketiga, sikap ilmiah juga merupakan unsur penting dalam kepemimpinan. Ada dua sikap ilmiah dasar, yakni sikap kritis dan keberanian menguji ide-ide baru. Sikap kritis berarti kemauan untuk mempertanyakan setiap informasi yang ada, sehingga orang tidak menggunakan fitnah dan gosip sebagai dasar pembuatan keputusan. Keberanian menguji ide-ide baru berarti keberanian bereksperimen untuk menemukan cara yang paling tepat, guna mengembangkan organisasi.

Sebenarnya, cukup ketiga hal diatas itu sebagai modal awal untuk menjalankan suatu kepemimpinan. Kehadiran seorang pemimpin yang memiliki jiwa dan nilai-nilai kepemimpinan, jelas akan mampu menjadi wadah bagi perasaan anggota atawa bawahannya. Selain, ia mampu merasakan kebutuhan, kepentingan bawahannya, bahkan iapun memahami denyut perasaan bawahannya.

Akhirnya, seorang pemimpin sejati, yakni pemimpin yang memiliki nilai-nilai kepemimpinan, harus bisa menyebarkan inspirasi ke lingkungan sekitarnya, dan masyarakat luas. Inspirasi itu lalu melahirkan beragam kepemimpinan baru di berbagai tingkat kehidupan masyarakat. Inilah yang disebut kepemimpinan kolektif. Jika kondisi ini bisa terus berkembang, maka nilai-nilai kepemimpinan akan menjadi nilai-nilai bersama yang melahirkan budaya organisasi yang unggul dan sistem yang berkesinambungan di semua organisasi. Bukan begitu? Wallahu A'lamu Bishshawab.

Bekasi, 01 Oktober 2017.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline