Lihat ke Halaman Asli

Labuhan Takdir (Bab 2)

Diperbarui: 20 Oktober 2019   17:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

BAB 2
TENTANG AKSARA


Seoul, kota yang padat, ibukota Korea Selatan, negara yang selalu menjadi daftar negara pertama yang akan aku kunjungi jika aku kaya, ya itu semua kutulis di buku harian ku, sejak aku duduk di bangku sekolah menengah pertama. Entah karena apa, berawal dari hobi menonton drama korea, membuatku benar-benar terobsesi untuk berkunjung ke negara tersebut. Sehingga ketika aku mendaftar beasiswa pasca sarjana, aku memilih salah satu Universitas terbaik di Korea Selatan, dan sekarang aku bukan cuma berkunjung ke negara ini, tapi aku menetap disini, aku memiliki rumah, memiliki pekerjaan dan aku memiliki suami yang tampan, semua kudapatkan di negeri para Oppa ini.

Ini adalah tahun kelima ku di Seoul, Korea Selatan. Dengan kerja keras dan usaha mati-matian, setelah menyelesaikan gelar sarjana hubungan internasional, aku sebagai lulusan termuda saat itu, berhasil mendapatkan beasiswa pasca sarjana ke Korea. Tentu saja itu merupakan pencapaian terbesar dalam hidupku. Pencapaian yang mengubah segalanya, mengubah masa depan, mengubah kehidupan, dan mengubah cintaku.

"apa yang kamu pikirkan sayang ? akhir-akhir ini kamu kelihatan murung, ada apa ?" aku tengah berdiri di balkon apartemen, memandang jalanan ramai dibawah, ketika tiba-tiba dia memeluk ku dari belakang."aku hanya menikmati pemandangan mas" aku memeluk tangannya yang melingkar di pinggangku.
"apapun yang terjadi, ceritakan semuanya kepadaku sayang, kamu masih ingatkan, komunikasi itu yang terpenting" suara beratnya terdengar lembut ditelingaku.
"iya pak dosen, siap" balasku cepat. Dia tertawa.
"hei, berhenti mengolok-olok sayang, sekarang kamu itu istriku, bukan lagi mahasiswa ku seperti tiga tahun lalu".
"iya sayang iya, aku adalah istri yang dulunya juga mahasiswi kamu mas, dulu kamu dosen ku, sekarang kamu suami ku, diantara kedua nya, kamu tetaplah menjadi orang yang selalu menuntun dan mengajarkanku, terimakasih mas". Aku berbalik, memeluk tubuh hangat itu erat. Sangat erat.
"haha, haruskah aku bilang So Sweet ?" candanya.
"tidak perlu, aku cuma mau seperti ini saja, biarkan aku tetap memeluk kamu seperti ini untuk beberapa saat" pintaku manja.
"kamu boleh memelukku sepuasnya sayang, asal kan jangan dikampus, kalau dirumah aku pasrah, haha" tawanya berderai.
Aku hanya diam. Tidak menjawab apapun, tetap memeluknya erat.

***

Entah sejak kapan aku tertidur di kamar, saat aku bangun, kutemukan Mas Yohan sedang sibuk dengan Laptop nya, meja kerjanya terletak di pojokan kamar kami yang memang cukup luas, meja kerjanya menghadap langsung ke luar jendela, sehingga ia bisa menikmati pemandangan di luar sembari bekerja. Ia tampak sibuk memasukkan nilai mahasiswanya, yah, sekarang sedang masa ujian akhir semester.

Aku mencoba bangkit perlahan dari tempat tidur, aku mencoba untuk tidak membuat suara apapun, tidak ingin mengganggu pekerjaan mas Yohan, kasihan sekali dia, ini akhir pekan, dan dia tetap harus bekerja. Sebagai seorang dosen muda, yang sudah menyelesaikan pendidikan doctor nya, harus ku akui dia adalah pria tampan yang cerdas, sangat cerdas. Matanya tidak sipit, tapi juga tidak besar, dengan bulu mata panjang, tapi tidak lentik, alisnya agak tebal, hidungnya kecil mancung, bibirnya seperti bibir bayi, ranum, yah dia memang tidak merokok. Kulitnya putih pucat, dia lebih putih dari aku. Wajahnya yang maskulin, dihiasi cambang dikedua pipi nya, semakin menegaskan garis ketampanannya, dagunya kecil lancip, ada tahilalat kecil di bawah dagunya. Rambutnya rapi, ia selalu rutin ke barber shop.

Kami sudah hampir tiga tahun menikah, aku mengenalnya saat awal semester tiga kuliah pascasarjanaku. Aku mengambil kelasnya, untuk mata kuliah filsafat hukum. Dari awal, dia sudah membuat teman-teman wanitaku tergila-gila, delapan puluh persen mahasiswa yang mengambil mata kuliahnya adalah perempuan, bagaimana tidak, selain muda dan tampan, dia juga ramah, murah senyum dan belum menikah. Wajar saja jika kelas nya tidak pernah sepi.

Aku yang waktu itu berstatus sebagai seorang wanita yang memiliki kekasih, meskipun jauh di Indonesia, tidak pernah mau mengikuti teman-teman wanitaku yang mati-matian mencuri perhatiannya. Rasa suka ku padanya hanya sebatas rasa kagum. Tidak lebih.

Hingga waktu itu, pada akhir semester tiga, saat itu sedang berlangsung ujian akhir semester, dan pagi itu adalah hari terburukku tapi juga hari terbaikku. Karena belajar semalaman, aku terlambat bangun, tanpa sempat sarapan, aku buru-buru turun dari kamar asramaku yang sederhana, sampai di halte, bus yang biasa kutumpangi telah berangkat. Aku yang biasanya tidak pernah telat langsung panik, bingung tidak tahu harus bagaimana, aku rogoh handphone disaku mantel ku, masih panik, aku menghubungi kekasihku, saat itu aku merasa sangat butuh seseorang, aku seperti terhenyak, menyadari sesuatu yang penting, untuk apa aku menghubungi kekasihku yang pada kenyataannya tidak disini, tapi di Indonesia, bisa apa dia ? aku memutuskan telpon sebelum diangkat.

Saat itu lah dia datang, Yohan Lie, dosen Filsafat Hukum yang terkenal tampan dan ramah, dia berhenti tepat didepan aku yang sedang memegangi kepalaku, pertanda panik. Dia membukakan pintu mobil dan menyuruhku masuk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline