Lihat ke Halaman Asli

Berhenti Membaca, dan Berpikirlah!

Diperbarui: 4 Maret 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumen pribadi

"Stop reading, you should start thinking...."

Begitu Sensei saya berkata pada suatu sesi diskusi di akhir tahun pertama saya sebagai mahasiswa doktoral. Sebagai mahasiswa S3, saya baru sadar bahwa ternyata saya bisa sangat naif. Ucapan Sensei saya, saya telan mentah-mentah. Saya laksanakan dengan sebenar-benarnya. Saya berhenti membaca dan mulai berpikir. Tapi sebelum saya lanjutkan, saya ingin mundur sedikit pada alasan mengapa Sensei saya sampai berkata demikian. 

Saya patut bersyukur, karena dikaruniai kegemaran membaca sekaligus akses pada berbagai jenis bacaan. Sebagai mahasiswa, sejak S1 hingga saat ini, saya bisa tahan berlama-lama membaca berbagai buku dan artikel - yang saya minati -, walaupun "memahami bacaan" itu lain cerita (^^. Saat tahun terakhir S1 saya membaca sebuah buku Critical Thinking. Namun begitulah, saya baru bisa baca, tapi belum benar-benar mengerti. Saya bisa sangat kritis terhadap opini orang lain, plot drama dan sinetron, artikel di koran, tapi tidak bisa (atau tidak tahu?) kritis terhadap literatur ilmiah.

Saat studi S2, saya diingatkan kembali bahwa untuk penulisan artikel ilmiah, hendaknya setiap argumen diperkuat oleh literatur pendukung. Tapi saat itu saya belum mengerti apa-apa. Alih-alih memiliki argumen sendiri, argumen saya dibentuk oleh artikel atau buku yang saya baca. Saya tidak berpikir bahwa artikel yang saya baca sifatnya mungkin kontekstual, bahwa asumsinya mungkin tidak berlaku untuk kondisi yang berbeda, bahwa setiap artikel ditulis dan diinterpretasi berdasar persepsi penulis, atau bahkan bahwa bacaan saya mungkin kurang berkualitas. Saya hanya membaca dan membaca, mengingatnya, dan menggunakannya sebagai alat argumen saya. Kebiasaan ini terbawa hingga saya melanjutkan studi S3. Pada setiap argumen, seringkali saya mengutip penulisnya. Misalnya "... But Sensei, Aristotle said that We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit... So that's why I used bla bla bla ". Anda bisa bayangkan khan? Berargumen sambil terselip kalimat "menurut penelitian yang ini, menurut penelitian yang itu.. "

Hingga suatu hari Sensei berkata, 

"I don't care what other researcher said. I want to know what's your thinking. Stop reading, you should start thinking"

Disitulah saat dimana saya berhenti membaca. Untuk membebaskan pikiran dan ide saya dari pengaruh orang lain (begitu kata Sensei). Agar argumen dan ide ini orisinil (iya, itu juga kata Sensei). Tapi tidak membaca itu tidak nyaman. Jadi saat membaca, teknik scanning dan skimming menjadi andalan saya. Saya habiskan setengah tahun kedua saya dengan banyak berpikir dan menulis (dan jalan-jalan...................... sambil mikir, sambil ngobrol (diskusi), sambil deg-degan, dan sambil menikmati 'hnggg moment'). I literally stopped reading. You know what's bad about it? I forget how to write well. I wrote, but it's awful. The way I write, it's ugly and hard to understand.

Saya mulai merindukan membaca dengan benar. Sebenar-benarnya membaca dan memahami. Karena saya butuh untuk bisa menulis dengan baik seperti sebelumnya. Dan akhirnya saya membaca kembali. Hingga kemudian....

JENG!!  JENG!!

Pencerahan itu muncul. 

Kembali saya diingatkan pada buku yang pernah saya baca tentang skill membaca. Pernah dengar "Critical Reading"? Membaca untuk mengkritisi artikel yang kita baca. Ini bukan pertama kali saya menerapkan teknik critical reading. Hanya saja, dengan segala kekurangan saya, kekurangan dari artikel ilmiah seringkali termaafkan dan terlupakan (orangnya pemaaf :p). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline