Lihat ke Halaman Asli

Kris Wantoro Sumbayak

TERVERIFIKASI

Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

Memilih Hidup di Kampung, Emang Enak?

Diperbarui: 7 Juli 2020   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemandangan langit di kampung, foto: KRAISWAN

Hidup di kampung, mau jadi apa? Desak orang tua teman saya, setelah menyelesaikan kuliah jauh-jauh ke Jawa. Kehidupan desa lekat keterbelakangan, kelambanan. Bukan lahan subur "membajak" rupiah. Apalagi penyandang sarjana.

Dalam banyak sisi, hidup di kampung lebih baik. Para urban mudik di tengah pandemi, buktinya. Selain itu, ada beberapa ke-enak-an hidup di kampung.

"Bebas" Buang Sampah. Seorang pemuda mengeluhkan tagihan Pak RT di mana beberapa kamar rumahnya di pinggiran kota dikos-kan. Dia sendiri tinggal di kampung. Mau buang sampah saja bayar tiap bulan. Untuk penghidupan pinggiran kota, ini wajar. Namun, bagi pemilik isi kepala yang terlanjur mengakar di desa, keluhan juga.

Nah, kalau di desa sampah bisa dikelola mandiri. Di rumah saya, misalnya. Sampah plastik dibakar bertahap di api tungku. Sampah organik tinggal ditimbun di bawah pohon, atau di lubang galian. Bisa dibuat pupuk.

Udara Segar. Setahun mengadu nasib di Surabaya, tak terhitung berapa kali saya mudik. Panas, penuh polusi, macetnya Surabaya hanya bisa diobati dengan menengok rumah.

Dulu, sewaktu kecil, waktu badan dan pikiran masih "dalam tempurung", kehidupan di desa terasa monoton. Tidak menarik. Tidak ada tantangan. Setelah mengecap dunia luar, tidak betah untuk tidak pulang.

Di kampung udaranya segar, sejuk dan memantik banyak inspirasi untuk berkarya. Sekadar untuk menulis artikel di Kompasiana, misalnya.

Konon, banyak orang tua yang tinggal di kampung umurnya panjang. Karena terbiasa menghirup udara segar. Pikiran pun jadi tenang. Di kota besar mana Anda bisa temukan langit jernih yang mengharu biru. Kalau pun ada, mungkin 1:1000.

Sumber Daya Melimpah. Bagikaum vegetarian, hidup di kampung adalah "surga". Meski harga sayuran di Indonesia masih terjangkau, khususnya di Salatiga; di kampung dedaunan GRATIS. Sebutlah daun singkong, daun talas Sumatra (menurut ibu saya, demikian namanya), labu siam, daun pepaya.

Dalam situasi paling krisis sekali pun, orang tinggal di kampung mustahil mati kelaparan. Habis beras, minta pada tetangga. Perlu sayur, tinggal petik di kebun. Sumber karbo yang lain juga mudah didapat. Singkong, ubi, talas. Kalau mau menanam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline