Lihat ke Halaman Asli

Kris Wantoro Sumbayak

TERVERIFIKASI

Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

Jadi Petani Itu Berat, Aku pun Tak Kuat

Diperbarui: 14 Mei 2020   13:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi lahan | KRIS WANTORO

"Ke ladang yuk, menengok keadaan". Yaelah, keadaan kok ditengok. Ada-ada saja ibuku. Diajaknya aku ke ladang pada suatu hari di tengah pekan di masa #kerjadarirumah. Bagi orang-orang serupa profesi dengan ibu, di rumah berarti tidak dibayar. Daripada gaje, dia ngajak refreshing.

Bagi wong ndeso macam kami, jalan-jalan menyibak semak tinggi, di bawah naungan pepohonan, menyeberang kali dangkal, memetik apa yang tumbuh berkawan semilir angin mengusap pipi; disebut piknik. Gratis. Tidak macet. Pulangnya dapat bahan masakan.

Namun jadi petani itu berat, aku pun tak kuat. Meski punya cukup lahan, bapakku tak mau bertani. Demi menutup lubang kehidupan, menukar tenaga dengan sejumlah rupiah lebih menjanjikan dibanding mengolah tanah yang hasilnya tak tentu. Setidaknya begitu sebelum pandemi menimpa.

Baca juga: Bertanam, Suatu Tekad Menimbun Manfaat

Seperti apa beratnya kehidupan petani?

Mengolah Susah, Nunggunya Lama

Jadi petani harus sabar, telaten dan tabah. Bertanam merupakan proses panjang dan berliku hingga tiba masa menuai. Dari pemilihan dan penyemaian bibit, menggemburkan tanah, memberi pupuk, menabur benih, membiarkan hujan memberikan kehidupan pada "anak-anaknya".

Selang berapa minggu, si bibit mulai tumbuh. Namun, ada tanaman lain yang ikut tumbuh meski tak ikut ditanam. "Tak tandur pari, jebul thukule malah suket teki...", kata mendiang Pakde Didi. Rumput teki dan jajarannya itulah pencuri nutrisi tanaman. Si petani harus menyiangi tanamannya dari flora pengganggu ini. Belum lagi predator macam wereng, ulat, burung, tikus atau jamur tanaman, yang oleh para ahli yang mempelajari makhluk hidup disebut menyeimbangkan ekosistem.

Sudah nunggunya lama, hasilnya dong-dongan. Lagi pula tak ada yang instan dalam pertanian. Harus bersabar setidaknya tiga bulan sebelum panen. Memangnya keluarganya bisa makan sabar?

Gagal Panen, Siap Berhutang

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline