Lihat ke Halaman Asli

Kris Wantoro Sumbayak

TERVERIFIKASI

Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

Bertanam, Suatu Tekad Menimbun Manfaat

Diperbarui: 13 Mei 2020   15:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pohon alpukat yang pernah saya tanam sendiri, foto: dokpri

Sopo sing nandur bakal ngunduh, begitu pesan ayahku yang diwarisi dari ayahnya.

Pesan sederhana ini mengagungkan bumi pertanian, apa yang ditanam itu pula yang nantinya dipanen. Namun juga merasuk ke alam sosial. Siapa menanam kemurahan, menuai pertolongan. Siapa menanam kejujuran, menuai kepercayaan. Siapa menanam kerendahan hati, menuai pujian, dan seterusnya, kalau diringkas: Perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin mereka memperlakukanmu. Meski tak sedikit yang melanggar takdir, Air susu dibalas air tuba. Ah, terlalu filosofis.

Planet biru ini dilengkapi banyak penunjang kehidupan, dijadikan demikian selaras dan seimbang oleh Sang Khalik. Salah satu komponennya tanaman, yang bisa dipahami sebagai pohon, bunga, sayur atau rumput. (Sudah kayak ahli botani belum?)

Kakek saya seorang petani menyambi tukang kayu. Anaknya, bapak saya, buruh serabutan yang sambilannya berkebun. Saya? Buruh pendidikan. Tidak ada keahlian yang diturunkan. Meski begitu, saya punya jiwa naturalis. Mendaki, menjelajah air terjun, dan bertanam.

Berbeda dengan mereka yang bertanam untuk bertahan hidup, saya sekedar hobi. Faktanya jadi petani itu susah. Butuh lahan yang luas, harus telaten mengurusnya. Namun dengan sejengkal tanah di sekitar rumah, saya menekuni hobi ini. Saya yakin suatu kelak akan memberi manfaat.

Suatu kali ibu saya membeli alpukat. Tanpa perlu rapat keluarga, bijinya dionggokkan dalam pot ember bekas di belakang rumah. Waktu berikutnya ternyata tumbuh tunas dan jadi bibit. Iseng, saya sendiri yang menanamnya di dekat pohon petai cina tanpa memusingkan apakah bisa hidup, atau kapan berbuah. Pokoknya tanam saja. Melintasi berbagai musim berulang, jatuhlah bakal buahnya. Saya menengadah, dan mendapati pohon itu berbuah! Wow!

Meski tak lebat-lebat amat, saya bisa mengecap gurihnya alpukat yang saya tanam sendiri---mungkin sejak lima tahun yang lalu, saking saya tak pernah memperhatikan si pohon. Saya bisa berbagi pada tetangga. Buah yang hanya delapan kilo itu dibeli oleh bibi, pedagang hasil bumi di pasar. Yang menanam, bakal menuai.

Meski di desa, bapak saya tidak punya cukup pohon buah. Pasalnya, beliau demen menanam dari biji. Ingat pelajaran SD? Pohon yang dibudidayakan dari biji (generatif) lama berbuah dibanding sistem mencangkok (vegetatif). Kalau pun ada panen dari kebun bapak belum tentu setahun sekali.

Maka, saya mengambil inisiatif menyisihkan uang untuk membeli bibit buah mangga, durian, kelengkeng dan sukun. Bahkan singkong dan tebu pun saya tanam. Harapannya 3-5 tahun mendatang saya dan anak saya bisa mengecap buahnya.

Investasi dengan pohon buah, foto: dokpri

Selain pohon buah, saya inves pada tanaman herbal. Jahe, pandan, lemon, sereh, kunyit, jeruk purut, dan kunir putih. Buah dari tiga daftar pertama biasa saya konsumsi untuk minuman. Jauh sebelum Corona menyerang, saya sudah suka minum jahe meski jarang. Setelah pandemi, makin sering. Saya lebih mantab menyeduh dari jahe segar, walau sedikit repot.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline