Lihat ke Halaman Asli

Braga, Si Tua yang Tetap Setia

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

At last! Akhirnya kami menemukan tempat untuk beristirahat, sebuah kedai makan yang terlihat tua. Kami bertiga duduk di kursi. Kursinya -yang tanpa bantalan- terasa nyaman diduduki, wajar, kami sudah lumayan kelelahan berjalan berputar menjelajahi tempat ini. Braga adalah salah satu tujuan wisata yang cukup digemari di Kota Bandung, dan tentunya masuk ke dalam checklist yang harus dikunjungi selama saya di bandung. Dan akhirnya setelah gagal dua kali karena hujan, akhirnya sekarang saya ada di tempat ini. Dimulai dari hotel yang pernah ditinggali Charlie Capelin, Savoy Homann, jalan sedikit ke barat, kemudian belok ke kanan. Sampailah saya di Jalan Braga. Mulai masuk ke Jalan Braga, saya disambut oleh nuansa kota lama, sederetan pertokoan yang masih dipertahankan keasliannya. Melangkah sedikit ke utara, saya bertemu sebuah bangunan besar, Majestic, sebuah bioskop tua. Setelah dibuat kagum oleh tempat ini, akhirnya kami sampai di tempat perjanjian. Disini kami menunggu satu lagi teman kami. Saya sekarang berdiri di trotoar perpotongan dua jalan, Braga dan Naripan. Didampingi oleh Bank BNI dan Bank Jabar saya menunggu. Akhirnya menu makanan datang. Menu makanannya simpel. Hanya kertas bertuliskan Sumber Hidangan diatasnya, dan list menu dibawahnya, tanpa ada hiasan apapun. Selain capek, dahaga kami juga memuncak, karena disengat langsung oleh matahari di tengah hari. Saya dan salah satu teman memilih eskrim, katanya disini melegenda. Semacam tiptop kalau di Jogja. Sementara temanku yang satu lagi memilih untuk memesan Nasi Goreng Ayam, walau dia was-was karena disini juga menjual panganan yang berbahan dasar babi. Setelah menunggu cukup lama, teman kami yang satu lagi akhirnya datang juga. Kami akhirnya melanjutkan perjalanan lagi. Setelah dipotong Jalan Naripan, suasana Jalan Braga berubah. Jalanan yang tadinya kosong, sekarang menjadi penuh sesak oleh kendaraan bermotor. Trotoar yang tadinya hanya milik kami, sekarang harus dibagi dengan pejalan kaki dan pengendara motor tak tahu diri. Batuan Andesit, Penjaja Lukisan, dan Turis Asing merubah suasana. Bandungpun pudar, digantikan oleh rasa sebuah Paris van Java. Toko-toko tua juga masih berdiri, mencoba bertahan diantara gempuran tenant-tenant baru. Salah satunya adalah Djawa 79, sebuah toko buku. Banyak sekali sudut tempat ini yang sangat fotogenik, mulai dari lantainya, dindingnya, lukisannya, sampai bangunannya. Setidaknya ketika kami berjalan disini, kami menemukan ada lebih dari dua grup yang sedang melsayakan sesi foto model amatir. Bar, Kafe, dan Resto mendominasi Jalan Braga di bagian utara. Selain itu juga ada Braga CityWalk. Sebuah mal yang katanya biasanya jadi tempat ngedate yang aman, karena tidak terlalu ramai dikunjungi oleh orang-orang. Jika melihat hal ini, saya agak bingung, kenapa dulu braga disebut Jalan Culik. “Silahkan!”, eskrim datang disajikan dengan air putih dingin untuk menetralkan rasa manis. Saya memesan Neapolitan dan teman saya Tutti Frutti, ternyata sama eskrim dua sekup ditambah dengan manisan anggur, manga dan beberapa buah lainnya. Bedanya saya mendapat eskrim cokelat, dan teman saya mendapat rasa vanila. Untuk harga dibawah sepuluh ribu rupiah, eskrim ini cukup enak dan berkarakter. Lebih enak daripada eskrim yang dijual dijalanan. Tapi, saya pribadi lebih suka yang vanila dibanding yang coklat. Disaat kami menikmati eskrim kami, sang teman masih menunggu nasi gorengnya yang tak kunjung datang, sepertinya perutnya sudah minta diisi secepatnya. Braga tua memang sangat eksotis. Tapi mungkin itu tidak akan bertahan cukup lama. Banyak toko mulai tutup, terpental bersaing dengan badai moderenitas di Bandung. Braga kalah pamor dengan Factory Outlet yang ada di dago, dan kemegahan Mal Paris van Java. Dibalik kemegahan Braga, kita masih bisa menemukan ibu-ibu menjual jajanan sate di pinggir jalan. Di sela-sela gang kita masi bisa menemukan jajanan kaki lima. Diantara kios yang sudah kosong, kita bisa menemukan warung nasi goreng kaki lima. Kesederhanaan dibalik kemegahan. Bau gurih dari tumisan ayam muncul ke meja kami, nasi gorengnya datang juga! Nasi goreng ini disajikan dengan sederhana, seperti kesederhanaan warung ini dan Braga. Nasi goreng disajikan dengan dengan potongan daun bawang dan ayam suwir, rasanya enak, klasik, dan sederhana. Makan di warung yang klasik, dan sederhana seperti mengingatkan kami kalau di sini tak hanya ada apartemen megah, warung fine dining bertema jepang, dan bar remang-remang yang menjual berbagai minuman. Braga tua masih setia disini, menemani orang-orang yang bosan didera perkembangan zaman. Ah, makanan sedap sudah disantap. Jam dinding sudah membentuk sudut siku-siku ke angka tiga. Lagi-lagi langit berubah kelabu, serasa ia sudah mau runtuh. Saatnya kami bergerak ke perjalanan selanjutnya!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline