Lihat ke Halaman Asli

Wahyudi Nugroho

Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Sejarah Tumpeng - Gunungan (5)

Diperbarui: 13 Maret 2024   20:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok AKN Yogya

Namun realitas kehidupan penduduk tidak sama dengan apa yang dilihat wali itu. Diam-diam mereka masih menjalankan ajaran agamanya. Puja syukur tidak dijalankan di tempat terbuka, diikuti seluruh warga. Namun di tempat tertutup, dihadiri satu orang perwakilan keluarga, di tengah malam. Mereka berkumpul mengelilingi benda berbentuk kerukut, terbuat dari nasi. Di dekatnya terhampar aneka lauk, sayur dan jajan.

Mereka ternyata menemukan cara baru untuk melestarikan keyakinan. Kerucut itu lambang meru, gunung keramat yang puncaknya bersemayam para dewa dan arwah leluhur. 

Benda itu disebut tumpeng. Maknanya tujuan lempeng, tujuan lurus atau berjalan terus. Ia juga disebut buceng, budi kenceng, lahir dari cipta rasa dan karsa yang keras.

Hamparan berbagai makanan mengelilingi tumpeng simbol permohonan, harapan yang diminta. Yakni kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, keadilan dan kedamaian bagi seluruh warga desa.

Selesai puja syukur, seluruh makanan dibagi, tak bersisa, untuk dibawa pulang dan disantap bersama keluarga. Agar berkah tetap menyebar ke seluruh desa. Telik sandi Demakpun tak akan mengetahuinya.

Dengan jalan demikian mereka selamat. Baik dari intaian telik sandi, juga dari kutukan dewa dan leluhur. 

Kelak acara puja itu disebut selamatan. Dengan jalan demikian warga desa menemukan kedamaian lagi.

Replika gunung keramat yang jadi sentrum acara selamatan ini  amat berkesan bagi wali terhormat itu. Kelak kemudian hari benda itu ia ekspresikan kembali secara kreatif dalam bentuk gambar gunungan. Benda seni ini ia gunakan untuk membuka dan menutup acara pagelaran wayang. Juga jadi penanda pergantian adegan.

Dari sana wali itu menemukan secuil pengetahuan tentang pandangan kosmologis masyarakat yang dicahayai ajaran lama, bahwa puncak gunung adalah kiblat saat lakukan puja. Tak jauh berbeda dengan ajaran agamanya, menjadikan ka'bah sebagai kiblat saat sholat.

Dengan karya seninya wali itu mendekati hati penduduk. Wargapun suka, eksistensi dan keyakinannya diakui. Sekaligus memberi legitimasi kultural simbolik. Bahwa ia membenarkan cara baru gunakan tumpeng sebagai sentrum dalam puja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline