Lihat ke Halaman Asli

Syaripudin Zuhri

TERVERIFIKASI

Pembelajar sampai akhir

UAS dan TBG Jangan Diadu di Pilpres 2019

Diperbarui: 1 Agustus 2018   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ustadz Abdul Somad dan Tuan Guru Bajang biarkan pada potensinya masing-masing, jangan diadu-adu/portal-islam.id

Pilpres 2019 yang akan datang kian memanas dan semakin menarik untuk diikuti, sebagai seorang warganegara biasa, yang bukan siapa-siapa, terbawa juga untuk meramaikan suasana riuh redah. Saling intif diantara kubu yang akan bertarung seperti anak-anak yang sedang main petak umpet. Kubu yang bertarung saling menjajagi, siapa yang dijadikan cawapres untuk Jokowi dan Prabowo, ini yang terlihat sampai tulisan ini dibuat.

Pertarungan Pilpres 2014 sepertinya terulang kembali, karena sampai saat ini poros ketiga belum juga terlihat, jika pun muncul poros ketiga rasanya sudah amat sangat terlambat, mengapa? Karena Jokowi saja sudah didukung begitu banyak partai, dari mulai PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP dan PKB, tak kurang enam partai sudah mendukung Jokowi untuk maju lagi menjadi Capres 2019 sebagai petahana, untuk melanjutkan Presiden dua periode. Sedangkan dipihak Prabowo, sudah ada Gerindra, PKS, PAN, PBB dan terakhir Demokrat.

Sepertinya Jokowi VS Prabowo terulang lagi, jadi pada Pilpres 2019 akan ada dua kubu Presiden dua Priode buat Jokowi, dan ganti Presiden untuk kubu Prabowo. Yang uniknya pada kubu Jokowi tetap ketika ditanya wartawan, siapa cawapres yang mendampangi Jokowi? Memang muncul nama-nama seperti Tuan Guru Bajang ( TGB), Mahfud MD, Sri Mulyani, Airlangga, Romi. Kabarnya sudah mengerucut menjadi dua orang, kemungkinan antara TGB atau Airlangga, tak tahulah, saya tak tahu apa yang ada dikantong Jokowi sekarang.

Sedangkan dikubu Prabowo, sudah pula mengerucut menjadi dua nama, Ustad Abdul Somad yang sering dipanggil UAS dan Salim Segaf Al Jufri ( SSJ ). Yang menariknya UAS mendorong agar yang dicawapreskan oleh Prabowo adalah SSJ, dan sebaliknya SSJ mendorong agar yang dimajukan menjadi cawapres Prabowo adalah UAS, benar-benar orang yang tak haus kekuasaan. Sementara dikubu Jokowi justru pada berebut ingin menjadi cawapresnya Jokowi, dengan berbagai cara dilakukannya.

Ada yang sudah mengiklankan diri, begitu PDnya akan dipilih Jokowi, ada dari partai Golkar yang mendorong agar ketuanya, Airlangga, dipilih Jokowi menjadi cawapresnya. Ada dari PPP, Romi dan lain sebagainya. Jadi beda sekali antara dua kubu ini. Di kubu Jokowi cawapres dijadikan rebutan, di kubu Prabowo justru saling mendorong agar yang dijadikan cawapres bukan dirinya, tapi orang lain atau tokoh lain. Bahkan Demokrat yang bergabung atau berkoalisi dengan Prabowo memberikan cek kosong pada Prabowo untuk memilih sendiri siapa cawapresnya. Demokrat tidak mengajukan AHY agar menjadi cawapresnya Prabowo, luar biasa.

Yang perlu menjadi catatan adalah penolakan UAS untuk dijadikan cawapresnya Prabowo, UAS memilih tetap dijalur Dakwah, mejadi Dai saja. Yang kalau pakai pinjam istilah KH Zainudin MZ, orang seperti UAS memang jangan berpolotik praktis, " Tidak ke mana-mena, tapi ada di mana-mana". Pengalaman KH Zainuddin MZ( Almarhum) bisa dijadikan pelajaran yang kuat untuk UAS. KH Zainudin MZ pernah mendirikan Partai Bintang Reformasi( PBR) yang akhirnya redup, karena ditinggalkan oleh pendirinya. Zainudin bercanda " itu jaman jahiliyah" Dan di akhir hayat, Beliau tak ikut partai yang dirikannya, bebas kembali dari politik praktis.

Nah UAS yang menolak dipilih untuk dijadikan cawapresnya Prabowo, saya setuju. Ini juga seperti AA Gym yang tahun 2014 juga banyak yang menawarkan untuk maju menjadi capres atau cawapres, AA Gym dengan halus menolak, " Biarkan saya tetap di sini, menjadi Dai" sampai sekarang. Nah UAS pun jika tak ingin menjadi korban politik lebih baik tetap di jalur Dai. Biarkan tokoh-tokoh lainnya yang dimajukan menjadi cawapresnya Prabowo. Bisa Anis Baswedan, Gatot Nurmantyo, Anis Matta, SSJ, Aher atau yang lainnya.

UAS sudah betul dijalur dakwa, menjadi DAI tak kalah muliyanya dibandingkan menjadi cawapres. Di kubu Jokowi biarkan TGB ikut mendukung atau bergabung dengan kubu permerintahan saat ini. Karena TBG juga adalah Gubernur yang sudah dua priode, jadi sudah punya pengalaman di pemerintahan, tak apa-apa dimajukan menjadi cawapresnya Jokowi. Atau jangan-jangan hanya dijadikan pendulang suara, karena ketokohan TBG sudah teruji di NTB, Nusa Tenggara Barat.

Kalau UAS mau dan maju, waduh ini bikin repot, dua ulama muda tamatan Al Azhar bertarung, berebut kekuasaan menjadi cawapres, pada dua kubu yang berbeda. Wah repot nanti, mereka akan main dalil atau ayat untuk memenangkan kubu masing-masing. Wah ini tak elok bagi pendidikan ummat, pendidikan rakyat kebanyakan, masa ulama diadu-diadu gara-gara pemilu? Saya berharap ini tak terjadi.

Biarkan UAS mundur, memberikan cawapresnya pada SSJ. Jikapun UAS yang maju, maka TGB yang harus mengalah, mundur dari kubu Jokowi, agar UAS dan TGB tidak saling berhadapan satu sama lain. Jangan ini, bahaya bagi persatuan ummat. Bukan apa-apa, bila ini terjadi dampaknya akan semakin lebar, nanti ulama yang satu dengan ulama yang lain saling mengkritik, saling menjatuhkan, dan ummat Islam mau dibawa ke mana kalau ulamanya justru tidak kompak atau bertarung untuk merebut kekuasaan, ini sangat tidak baik, tidak bagus. Saya harap tidak terjadi.

Biarakan tokoh politik yang Islami berjuang, bukan ulamanya. Ulamanya terus saja berjuang dijalur dakwah, memberdayakan ummat agar tetap terjaga. Islam harus tetap kompak di dalam NKRI, jangan sampai terpecah belah. Ulama dan umaronya harus kompak, jangan mau diadudomba oleh apa dan siapapun. Mari terus menggalang persatuan dan kesatuan. Ulama tolong jangan diadu domba. UAS dan TGB jangan diadu-diadu atau dicawapreskan oleh kubu Prabowo dan kubu Jokowi. Silahkan cari yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline