Lihat ke Halaman Asli

Calon Tunggal di Pilpres, Sesuai dengan Nilai Luhur Pancasila

Diperbarui: 7 Maret 2018   15:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Republik Indonesia sudah lama menerapkan konsep mengenai demokrasi yang paling tepat, yaitu Demokrasi Pancasila. Proklamator Soekarno dalam suatu sidang di BPUPKI tahun 1945 pernah berkata, "Jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanya."

Pidato Soekarno ini tentu menjadi dasar bahwa semangat dan nilai luhru pancasila adalah kebersamaan. Kebersamaan yang kemudian menjadi dasar bagi segenap rakyat Indonesia dalam memutuskan arah menuju kebaikan bangsa ini.

Berkaca pada itu, rasanya jika hari hari belakangan ini, dimana mendekati pelaksanaan Pemilihan Presiden yang menempatkan Presiden Jokowi sebagai kandidat Presiden terkuat dan tidak mungkin dikalahkan, maka solusi terbaik bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi problematika demokrasi ini adalah Majelis Pemusyawaratan Rakyat segera meminta fatwa kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat dan diizinkan melakukan sidang paripurna MPR guna menetapkan Jokowi sebagai Presiden periode 2019 - 2024.

Kenapa hal ini saya sampaikan, rasanya inilah solusi yang paling tepat bagi semua riuh politik kita. Kita harus menyepakati bahwa esensi dari demokrasi sesungguhnya adalah musyawarah. Musyawarah juga dilakukan untuk mencapai kata mufakat. Ibarat kata pepatah, Bulat Air oleh Pembuluh, Bulat Kata oleh Mufakat.

Kita tidak bisa menafikan saat ini bahwa dalam beberapa kali pelaksanaan survey oleh lembaga konsultan politik, elektabilitas Presiden Jokowi tidak terbendung lagi. Bahkan saingan terkuatnya Prabowo Subianto berjarak sangat jauh dari dirinya.

Oleh karena hasil surveynya yang luar biasa tinggi itu, partai partai politik hari ini tidak mau mengambil resiko dengan menempatkan diri menjadi pesaing Jokowi. Partai dan tokoh politik tahu diri bahwa menjadi Wakil Jokowi adalah sebuah realitas yang harus diakui.

Oleh karena itu, daripada pelaksanaan Pilpres langsung dilakukan hanya dengan menghadirkan satu pasang kandidat saja, menurut saya, itu adalah kerugian. Bayangkan, biaya penyelenggaraan Pilpres tidak sedikit. Alangkah lebih baik, jika biaya yang besar dan dengan resiko konflik sosial serta konflik horizontal yang besar itu dialihkan untuk membiayai proyek proyek infrastruktur Presiden Jokowi yang harus segera diselesaikan dan dinikmati rakyat dimasa depan. Nama Presiden Jokowi tentu akan disejajarkan dengan nama Presiden-Presiden Indonesia yang terdahulu. Bukan tidak mungkin, Presiden Jokowi mendapat gelar "Bapak Infrastruktur dan Pembangunan".

Biaya pelaksanaan Sidang Istimewa untuk 680 anggota MPR tentu jauh lebih murah dan terjangkau jika dibandung dengan biaya Pilpres yang mungkin saja mencapai triyunan rupiah.

Pemerintah, KPU dan Partai Politik tentu harus memperhatikan hal ini. Uang rakyat habis, tapi sia sia. Jokowi sudah dipastikan akan Presiden. Alangkah elok, jika sistim pemilihan langsung ini kita koreksi bersama sama dan fahami bahwa ini tidak sesuai dengan cita cita luhur bangsa kita ber-Pancasila.

Pada masa orde baru, rakyat Indonesia sudah merasakan betapa sistim dan nilai nilai luhur Pancasila itu diterapkan. Tidak ada pemilihan langsung, tidak ada ribut ribut media dan konflik berkepanjangan karena berpedaan pendapat dan pandangan politik. Kehidupan warga juag berjalan dengan tenang.

Apa rahasia dari orde baru itu, satu saja, kebersamaan. Nilai nilai kebersamaan dan musyawarah inilah yang selalu dikedepankan. Sehingga tidak ada konflik yang terjadi. Apa yang selama ini dilakukan orde baru adalah semangat kebersamaan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline