Lihat ke Halaman Asli

Nasionalisme? Uh....

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sewaktu saya masih duduk di Sekolah Dasar, beberapa teman yang tak sempat dan tak mampu sarapan sebelum berangkat sekolah, selalu jatuh pingsan ketika sedang mengikuti upacara bendera. Mereka roboh di saat-saat krusial bagi moment mitologis nasionalisme, semisal ketika sedang hormat bendera, mengheningkan cipta bagi para pahlawan (ah..!) atau ketika sedang meneriakkan Pancasila -si dasar negara.

Nasionalisme, yang dikukuhkan melalui upacara bendera, tumbang karena tak sarapan.

Maka, sungguh brengsek para kepala sekolah dan dinas pendidikan dan seluruh aparat negara dan para menteri serta presiden dan para lurah dan camat yang memaksakan nasionalisme pada bocah-bocah yang tak sarapan.

Apakah mereka tak tahu bahwa kejedot tanah itu menyakitkan dan bisa bikin benjol jidat berhari-hari? Apakah mereka tak tahu bahwa pingsan, dengan gaya jatuh dan posisi terkapar model apapun, akan terlihat memalukan dan sungguh tak keren?

Nasionalisme yang tak kalah memuakkan muncul dari mulut sok-sokan para artis. Grup band Cokelat meneriakkan nasionalisme ala upacara bendera dengan nada dan lagak yang bisa bikin mules. Lagu mereka, kalau tak salah berjudul Bendera, mereka nyanyikan dengan mata berbinar dan tangan mengepal. Netral: Garuda di Dadaku, saya yakin mereka tak pernah pingsan saat upacara bendera. Peewe Gaskin juga, entah apa judulnya. Begitu pula Titik Puspa dan Gombloh pada masa lalu. Seluruh lagu-lagu itu, bagi saya, hanya cocok untuk sumpal pantat di saat seluruh orang dengan sok khidmat dan bijak sedang merayakan hari kemerdekaan sambil makan nasi kuning.

Kenapa Nasionalisme menjadi memuakkan? Karena di saat yang sama kita tahu bahwa ada cerita Freeport kontra suku Amungme yang menyayat hati, lumpur Lapindo, kasus Mesuji, kisah kemiskinan yang mencekik, penggusuran, Illegal logging, gurita korporasi, korupsi yang gila-gilaan, partai politik yang menyerupai gerombolan preman, polisi yang tak terkendali, para petani yang digebukin dan dirampas tanahnya, masyarakat adat yang dikibuli dan diludahi.

Tai. Sungguh tai yang kekal!

Apalagi yang tersisa?

Dan Nasionalisme, juga bisa berarti strategi dagang.

“Pakailah Produk Dalam Negeri”. Bagi saya, slogan itu terasa menggelikan dan sekaligus mengerikan.
Kenapa? Karena toh kita tahu bahwa produk-produk Nasional itu sebenarnya hanyalah milik dan monopoli segelintir orang.

Karena sambil meneriakkan slogan di atas, sistem politik dan ekonomi negara ini tengah menggilas habis usaha kecil milik komunitas-komunitas lokal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline