Lihat ke Halaman Asli

Tjahjono Widarmanto

Penulis dan praktisi pendidikan

Meneguhkan Demokrasi Melalui Dialog Kebudayaan

Diperbarui: 7 Oktober 2020   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membangun dan memperkokoh demokrasi memang bukan merupakan tugas yang ringan. Demokrasi memerlukan komitmen dari segenap lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah selalu penyelenggara negara, birokrasi, setiap komunitas, hingga masing-masing individu sebagai bagian dari masyarakat. Dengan komitmen dan keterlibatan bersama tersebut simpul-simpul demokrasi akan terpilin dan mengakar di segenap lapisan masyarakat.

Demokrasi bisa terbanun dengan baik, jikalau da pertisipasi masyarakat luas dalam praktiknya. Tidak mungkin ada demokrasi tanpa melibatkan masyarakatnya secara partisipasif, karena sesungguhnya demokras mensyaratkan keterlibatan segenap masyarakat dalam tingkat perencanaan, konsep, pelaksanaan hingga pengawasan dan evaluasinya. Pemerintah selaku penyelengaara negara dan kelembagaan berperan sebagai motor dan fasilitator dalam setiap proses berdemokrasi.

Demokrasi telah diperbincangkan selama lebih kurang 2500 tahun yang lampau dan sampai kini masih menjadi sebuah wacana, paradigma sekaligus praktik yang terbuka dengan berbagai alternatif yang dinamis untuk selalu menemukan pola terbaiknya dengan melihat kekhasan karakter di tempat demokrasi tersebut dipraktikkan. Karena merupakan pradigma sekaligu praktik yang terbuka dengan berbagai alternatif, maka demkrasi mempunyai varian makna yang beragam.

Saat ini demokrasi cenderung ditekankan pada makna bahwa dalam konteks politik kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat (rule the people), yang dalam wacana politik modern sesuai yang dikatakan Abraham Lincoln dengan istilahnya yang masyhur: Goverment of the people, by the people, for the people!

Dalam bukunya yang melegenda On Democracy (1999), Rover A Dahl memberikan argumen penting mengapa demokrasi harus didukung dan dibangun. Menurutnya ada sembilan akibat positif dari demokrasi, yaitu menghindari praktik tirani kekuasaan, menjamin hak-hak asasi, kebebasan yang universal, rakyat bisa berperan menentuka nasib sendiri, terbangunnya otonomi moral, menjamin perkembangan umat manusia, menjaga kepentingan pribadi yang utama tanpa melanggar batas pribadi yang lain, mencapai perdamainan dan jalan menuju kemakmuran.

Senada pendapat Hall, Henry B Mayo dalam Introduction to Democratic Theory menegaskan bahwa demokrasi lebih unggul dari sistem apapun yang ada di dunia. Keunggulan tersebut di antaranya bisa menyelesaikan perselisihan dengan damai dan melembaga, menjamin terselenggarannya perubahan secara damai, terselenggaranya pergantian pimpinan secara teratur, menganggap wajar adanya keberagaman, dan menjamin tegaknya keadilan.

Manusia merupakan individu anggota masyarakat yang bertanggung jawab mengeneguhkan demokrasi. Manusia tidak bisa dilepaskan dari ruang kesejarahannya. Seperti, meminjam istilah Marx, manusia hanya dapat dipahami selama ia ditempatkan dalam konteks sejarahnya. Oleh sebab itu sejarah menjadi sebuah perspektif yang penting dalam memaknai masyarakat dengan berbagai kondisi dan produk kebudayaannya.

Untuk itu memahami manusia dan masyarakat Indonesia harus dipahami pula kondisi kebudayaannya. Kondisi kebudayaan masyarakat Idonesia adalah kondisi plural. Itu berarti pluralitas masyarakat Indonesia meniscayakan adanya keragaman budaya. Berbagai entitas masyarakatnya berada dalam sebuah formasi sosial yang memiliki pola karakteristik dan relasi sosial yang memiliki keberagaman. Oleh karenanya dalam upayanya menbangun komunikasi antar entitas masyarakat, dialog kebudayaan mendia sarana dan media yang paling efektif. Pengakuan dan apresiasi akan keberagaman sekaligus pemberian otonomi kebudayaan atas tiap entitas kebudayaan merupakan sebuah kebijakan yang selaras dengan ruh demokrasi.

Harus dihindari kebudayaan yang sentralistik. Apalagi pendekatan represif dan militeristik untuk mengatasi perbedaan dan konflik sosial budaya. Proses dialog kebudayaan harus dikedepankan untuk membangun proses diametral. Harus dihindari paradigma stabilitas yang memandang bahwa perbedaan adalah hubungan konfliktual. Harus dibangunkan kesadaran bahwa semua budaya yang berbeda tersebut masing-masing memiliki instrumen-instrumen intelektual, simbolik dan jati diri yang memberi pandangan yang spesifik tentang realitas personal, historis dan kosmis yang tidak memiliki kecenderungan memaksa.

Dialog kebudayan tidak berarti meninggalkan kebudayaan dan identitas asal, akan tetapi memberi 'pengakuan dan penghargaan' terhadap 'yang lain'. Memang tak bisa dipungkiri bahwa dalam sebuah interaksi simbolik antar budaya pasti dimungkinkan adanya gesekan. Namun, sebenarnya asal tidak ditunggangi oleh kepentngan ekonomi dan politik, tidak mungkin perbedaan kebudayaan mengarah kepada konflik sosial. Sejarah bangsa Indoesia sejak awal nusantara sudah membuktikan bahwa kebudayaan kita telah memiliki kemampuan untuk mengatasi gesekan tersebut.

Melalui dialog kebudayaan, muncul kesadaran tak hanya saling mengakui dan menghargai namun juga saling memperkaya. Tentu saja saling memperkaya ini hanya dimungkinkan jikalau etintas kebudayaan sering melakukan interaksi yang intens. Dari interaksi ini akan muncul kesadaran toleransi terhadap kontradiksi dan ambiguitas kebudayaan yang memungkinkan praktik negoisasi kebudayaany ang terus menerus

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline