Lihat ke Halaman Asli

George

TERVERIFIKASI

https://omgege.com/

Amien Rais Ada Benarnya, Hanya Salah Niat dan Sasaran

Diperbarui: 21 Maret 2018   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi diolah dari Kompas.com

"Ini pengibulan, waspada bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektar, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?" Pernyataan Pak Amien Rais serentak mengawali polemik baru. Publik dan politisi terbelah. Masing-masing membela junjungannya. Sialnya orang jadi melupakan hakikat, konten sejati dari pernyataan itu.

Sebagai orang sok bijak, dan kebetulan sedang butuh ide untuk dituliskan, saya mencoba meningkatkan polemik ini menjadi lebih berkualitas.

Ada dua kenyataan, objek, peristiwa dalam pernyataan Pak Amien. Pertama soal program bagi-bagi sertifikat Pak Jokowi. Kedua soal ketimpangan penguasaan sumber daya ekonomi (dan distribusinya), 74 persen dimiliki kelompok tertentu. Sayangnya, ketika Pak Amien coba menghubungkan dua peristiwa ini, ia memilih diksi yang salah. Seolah-olah program sertifikasi lahan rakyat adalah upaya Pemerintahan Jokowi untuk menutup-nutupi ketimpangan penguasaan sumber daya ekonomi.

Sekarang, kita lihat satu persatu.

Sudah jadi pengetahuan umum bahwa cita-cita kesejahteraan yang berkeadilan masih jauh panggang dari api. Mayoritas sumber daya ekonomi, termasuk lahan masih berada di tangan segelintir (minoritas) elit bisnis. 

Dampaknya di hilir tingkat kesejahteraan juga sungguh jomplang. Lembaga-lembaga berupa LSM seperti Konsorsium Pembaharuan Agraria, Sawit Watch, atau serikat petani seperti Serikat Tani Nasional (STN), Serikat Petani Indonesia, Agra, atau aktivis gerakan politik seperti Partai Rakyat Demokratik, hingga lembaga riset seperti Indef, sudah sering menyatakan hal ini. Bahkan semasa kampanye dahulu, Pasangan Jokowi-JK juga melihatnya sebagai problem bangsa yang wajib dituntaskan.

Ketimpangan agraria ini adalah warisan masa Kolonial Belanda. Selain melanjutkan ketimpangan tenurial nusantara yang memang feodal –-sebagaimana di manapun peradaban feodal di kolong langit ini--, pemerintah colonial Belanda memperparah kondisi ini dengan liberalisasi yang memberikan konsesi penguasaan lahan kepada pemodal swasta selama 45 tahun (masa Rafles, 1811), menjadi 75 tahun seusai masa tanam paksa (1870).

Ketika merdeka, Pemerintahan Soekarno mengeluarkan UU Pokok Pembaruan Agraria (UUPA 5/1960) untuk menggantikan UU agraria kolonial (Agrarishe Wet 1870) dan menciptakan keadilan penguasaan sumber daya agraria.

Sialnya, UUPA menjadi pokok sengketa antara kaum tani dan para tuan tanah yang selanjutnya berkembang menjadi konflik antara Partai Komunis Indonesia dengan kalangan pesantren.

Sedikit selingan, saya penasaran, karena para politisi PAN demi membela Pak Amien Rais kini menggangkat soal reforma agraria (yang sekian lama diidentikan dengan program PKI) kira-kira kapan Kivlan Zen dan Pak Amien Rais akan berteriak “Hati-hati PKI hendak bangkit lagi, program reforma agraria adalah buktinya.” Akan lucu rasanya melihat telunjuk dibelokan ke diri sendiri. Heeeh. Para politicker memang sering absurd.

OK, kita kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline