Lihat ke Halaman Asli

Tigaris Alifandi

Karyawan BUMN

BTP, Antara Pantas dan Usrek

Diperbarui: 21 November 2019   15:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Apakah Ahok --ups, maafkan-- apakah BTP itu orang berprestasi?"

Sebuah petikan menarik bagi saya dari tulisan seorang Dahlan Iskan (DI), mantan menteri BUMN dan CEO Jawa Pos, yang saya tahu persis jarang menulis problematika politik ekonomi dalam negeri. Sekali menulis tentang itu, langsung heboh. Oleh karena itu, DI banyak memilih jalan aman. Lebih sering menulis perjalanan luar negeri beliau ataupun permasalahan internasional, ketimbang politik dalam negeri.

Ini tentu berkaitan dengan dipanggilnya Basuki Tjahaja Purnama (BTP) oleh Menteri BUMN Erick Thohir beberapa waktu lalu. Dirinya mengatakan jikalau Erick berniat menempatkannya sebagai komisaris ataupun direksi BUMN.

Desas-desus berkembang. Di manakah kira-kira BTP akan ditempatkan?

Pertamina. Begitu menurut informasi yang beredar.

Tentu tak bisa seenaknya mengangkat dan memberhentikan direksi BUMN. Harus ada uji kelayakan dan kepatutan agar bisa menjadi direksi. Beda halnya dengan komisaris, sebuah ladang bagi-bagi jabatan yang acap kali diberikan kepada tim sukses ataupun orang terdekat. Gajinya lumayan pula.

BTP hendak dijadikan direksi atau komisaris? Entahlah.

Prolog menarik dari DI merupakan premis menarik. Orang yang berprestasi cenderung sukses dimanapun ditempatkan, tulis beliau. Lantas mengaitkannya dengan sosok BTP.

BTP menjalani karier yang menarik perhatian sebagai birokrat. Terutama ketika mendapat panggung di DKI Jakarta, teater besar pusat perhatian nasional. Dia mendapat citra sebagai sosok bersih dan tegas, yang tak segan menuai kehebohan jika terdapat hal yang tidak sesuai dengan harapannya.

Karakter BTP sendiri memang ceplas-ceplos, tegas dan keras. Lalu dikaitkan dengan premis tadi, dapat disimpulkan bahwa BTP berprestasi dalam membuat kehebohan. Subjektifitas penilaian DI begitu terlihat.

Ada satu alasan penting yang mendasari subjektifitas DI tersebut. Dengan pengalaman panjangnya di dunia manajerial bisnis, instingnya mengatakan bahwa lebih baik tidak membuat banyak kehebohan dalam situasi ekonomi sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline