Lihat ke Halaman Asli

Aku Pulang

Diperbarui: 19 November 2022   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Teti Taryani, Guru SMKN 1 Tasikmalaya

Berulang kubaca lagi dan lagi. Pesan dari Ibu yang kelima kalinya ini menyiratkan permintaan yang bukan main-main. Bahkan kumaknai sebagai perintah yang tak bisa dibantah. Kuhela napas panjang dan kututup pesan itu tanpa kujawab segera.

Ibu pasti tahu, aku telah membaca pesannya. Aku tidak tahu apakah kini Ibu bisa mengerti mengapa aku tak mampu segera menjawabnya. Ada hal yang kupahami betul antara aku dengan Ibu yang membuat komunikasi tak bisa selancar air yang mengalir. Ada dinding yang cukup tinggi yang membuatku tak bisa saling sapa sebagaimana layaknya anak dengan ibu.

Kutahan bulir bening yang hampir luruh dari kelopak mataku. Tidak! Jangan sampai membasahi pipiku. Telah lama kuenyahkan tangis yang sering mengganggu tidur lelapku. Kulawan kemunculannya dengan tekad melupakan segala bentuk kepedihan. Aku ingin melupakan semuanya. Aku tidak ingin air mata meruntuhkan pertahanan yang telah kubangun dengan susah payah.

"Kenapa, Nit? Kok kayak sedih begitu?" Yani rupanya menaruh perhatian padaku.

Dialah sahabat yang mengetahui kisah hidupku yang sesungguhnya. Dia pula yang mengajakku bekerja di kantin milik Bu Dedah. Kantin yang cukup besar melayani karyawan pabrik tekstil ini. Kantin yang menjadi penopang hidupku setelah kuputuskan keluar dari rumah Ibu. Kuupayakan hidup mandiri karena memang aku telah cukup dewasa.

"Enggak papa. Cuma disuruh pulang aja. Kayak pesan kemarin itu," jawabku.

"Siapa tahu kamu betul-betul diperlukan, Nit. Pulanglah sebentar. Minggu depan kan ada tanggal merah berjejer. Kamu bisa manfaatkan itu."

Kulirik kalender yang terletak di dinding kantin. Ya, tanggal merah dua hari berturut-turut. Kepulanganku tentu tak bakal merepotkan Bu Dedah yang sangat bergantung pada tenaga kami. Apalagi pada saat jam-jam makan karyawan yang menuntut layanan cepat dan tepat.

Ingat pulang berarti ingat Ibu dan Jalil, suami baru ibuku. Mereka pasangan yang punya bakat berdagang. Ibu mengelola warung sembako, Jalil berjualan pakaian. Lelaki itu menjajakan pakaian dengan cara berpindah-pinda tempat, dari pasar ke pasar atau dari keramaian ke keramaian lainnya.

Setelah menikah, mereka membuka toko yang lebih besar dan hanya menjual sembako. Aku sendiri tidak tahu bagaimana perkembangan usaha mereka. Hanya itulah kabar terakhir yang kuterima dua tahun lalu dari tetanggaku yang bertemu di kota ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline