Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Eskalasi Produksi Sampah Memaksa Lahirnya Gaya Hidup yang Lebih Fungsional

Diperbarui: 20 Juni 2019   18:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Dokumentasi Pribadi

Saya masih sangat ingat, pepatah yang diajarkan Bapak/ Ibu guru di sekolah sejak Sekolah Dasar hampir 30 tahun yang lalu, kata mereka, "Kebersihan adalah sebagian dari iman." 

Hari ini, setelah 30 tahun berlalu sejak saat itu, aku medapatkan kenyataan bahwa mungkin tidak kurang dari jutaan atau mungkin belasan juta murid-murid sekolah dasar seangkatanku, yang kini juga sudah memiliki anak-anak yang sebagian besar sedang duduk di bangku sekolah dasar, bahkan ada teman yang anaknya sudah SMA karena langsung menikah setelah tamat SMA dulu. Namun, apa yang terjadi.

Mungkinkah kami tidak beriman? Atau pepatah yang diajarkan Bapak/ Ibu guru dulu hanya pepesan kosong, yang mereka sendiri sebenarnya tidak terlalu serius menyampaikannya sebagai sebuah pengajaran? Kalau ternyata jutaan atau bahkan belasan juta muridnya belum mampu mewarnai budaya menyampah yang kelihatannya adalah jenis iman yang lebih banyak pemeluknya? Mari kita gali sebagian faktanya.

Tuhan Sudah Berhenti Menciptakan Ruang Hidup (Lahan) 
Orang-orang tua kami di kampung ini (Kabanjahe) sering mengajarkan kepada anak-anaknya, "Tuhan nggo ngadi nepa taneh, tapi jelma lalap reh teremna." Kalau di-Bahasa Indonesia-kan kira-kira maknanya bahwa Tuhan sudah berhenti menciptakan tanah (daratan), tapi manusia sedang dan akan selalu bertambah banyak.

Sederhana memang, tapi dari pengajaran ini para orang tua sebenarnya hendak menyadarkan anaknya bahwa tantangan hidup saat ini dan kedepannya akan semakin bertambah kompleks, oleh karena itu anak-anaknya harus memiliki kesadaran dan kesiapan untuk mengantisipasi segala kemungkinan buruk yang akan mengiringinya.

Bukan sebuah hal yang baru, bahwa banyak konflik di berbagai tempat di dunia dipicu oleh masalah teritorial, masalah agraria, masalah keterbatasan spasial. Sementara itu, di saat yang sama, tingkat pertumbuhan penduduk di dunia secara agregat menunjukkan tren yang masih akan selalu meningkat.

Selain membutuhkan tempat, manusia juga membutuhkan makanan untuk hidup. Manusia yang makan, sudah pasti juga akan menghasilkan sampah dalam hidupnya. 

Manusia dan kemanusiaan yang membutuhkan ruang hidup, sudah pasti juga membutuhkan ruang untuk sampah-sampah yang dihasilkannya. Padahal faktanya, Tuhan sudah berhenti menciptakan ruang hidup (lahan). Maka patut dikhawatirkan, bahwa manusia dan sampah yang tidak berhenti bertumbuh adalah salah satu potensi pemicu konflik kehidupan dewasa ini.

Sudah sangat sering kita dengar, sesama tetangga di sebuah kompleks perumahan berkelahi hanya gara-gara sampah masing-masing. Hewan-hewan peliharaan ikut terlibat dalam hal ini. 

Misalnya saja anjing peliharaan yang kurang dididik dan diperhatikan hingga mencari makan ke tempat sampah tetangga, dan karenanya ikut menyeret diapers atau pampers anak bayi tetangga karena anjing mengira itu adalah jenis makanan cepat saji, sebagaimana tuannya juga sangat menyukai makanan jenis ini. Atau warga dua daerah yang menjadi bermusuhan, karena satu tidak terima karena daerah tempat tinggalnya dijadikan tujuan ekspor sampah, dimana lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah ada di kotanya.

Tak jarang ada kabar bahwa truk-truk pengangkut sampah ke TPA dihadang oleh massa warga yang marah bersenjata kayu, batu-batu dan benda lainnya dan mengancam supir-supir yang mengangkutnya. Belum lagi warga sebuah negara yang mengajukan petisi mendorong pemerintah negaranya bertindak tegas atau kalau perlu menghentikan hubungan diplomatik karena negaranya dijadikan tujuan pemasaran sampah dari negara lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline