Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Persatuan Indonesia dan Kebangkitan Nasional di Aras Tantangan Zaman

Diperbarui: 23 Mei 2019   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

i.pinimg.com

Tanggal 20 Mei 2019, adalah hari peringatan kebangkitan nasional Indonesia yang ke-111. Tema peringatan kali ini adalah "Bersatu untuk Bangkit." Hal ini tentu mengandung makna terkait pentingnya merevitalisasi semangat persatuan untuk kebangkitan semangat nasionalisme Indonesia.

Tema ini juga relevan dengan situasi terkini di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang baru saja selesai melaksanakan pemilihan umum pada 17 April 2019 yang lalu. Dalam beberapa waktu belakangan ini, masyarakat telah ikut terkuras energi dan emosinya, minimal kedalam dua kutub berlawanan terkait dukung-mendukung calon presiden. Bahkan mungkin telah terkotak-kotak dan mengalami keretakan hubungan, baik dalam hubungan sosial kemasyarakatan secara umum sebagai warga negara, maupun keretakan dalam skop hubungan yang lebih kecil antar anggota keluarga, maupun antar anggota jemaat atau umat beragama.

Mengulik sedikit ke belakang, pada tanggal 16 Oktober 2018 yang lalu, di sebuah tayangan acara live talk show di sebuah stasiun televisi swasta dengan topik terkait tantangan persatuan Indonesia sehubungan dengan agenda pemilu tahun 2019, Prof. Mahfud MD yang merupakan salah seorang narasumber, menyampaikan bahwa ada 4 "dis" yang berpotensi mengancam persatuan Indonesia. Keempat "dis" itu adalah, disorientasi penegakan hukum, distrust (ketidakpercayaan) masyarakat kepada hukum, disobedience (ketidakpatuhan) masyarakat akibat akumulasi distrust, dan disintegrasi.

Begitulah tantangan persatuan Indonesia dalam pendar kelap kelip semangat kebangkitan nasional Indonesia yang telah berumur 111 tahun sejak dicetuskan pertama kali saat berdirinya organisasi kebangsaan pertama di Indonesia, Budi Utomo, pada 20 Mei 1908, masih dan sedang mengalami ujiannya. Komitmen semangat kebangsaan pada Budi Utomo, yang diniatkan menjadi perekat atas keberagaman bahasa, suku, agama dan budaya seluruh anak bangsa, masih terus diuji untuk menemukan bentuknya. Oleh karenanya, bersatu untuk bangkit bisa dikatakan adalah termasuk proses menjadi.

Merujuk logika dinamis Hegel tentang konsep "menjadi," maka untuk memahami proses "menjadi," kita tidak bisa tidak, harus merenungkan konsep ada dan konsep tiada sekaligus. Kita tidak dapat merenungkan keberadaan sesuatu tanpa segera menyadari ketiadaan sesuatu yang lain. Ketegangan "ada" dan "tiada" menjadi cair dalam konsep "menjadi". Sebab jika sesuatu sedang dalam proses "menjadi," ia sekaligus ada dan tiada.

baca: Menjadi Ada dan Tiada 

Mencermati sambutan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang ke-111 tahun ini, ia menyampaikan bahwa tantangan persatuan Indonesia di aras persaingan global dengan kesulitan-kesulitan geografis yang termasuk ekstrem dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, antara lain adalah penyebaran ujaran kebencian, hoax, fitnah dan berita-berita bohong yang beredar di masyarakat, yang dapat mengganggu stabilitas, keamanan dan ketertiban negara Indonesia.

Dalam kondisi ini, logika dinamis Hegel tentang konsep "menjadi" menemukan relevansi. Bergelut dengan tantangan sebagaimana disebut di atas, Indonesia juga diproyeksikan berpotensi menjadi salah satu dari 10, bahkan dari 5, negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2020-2030 nanti, bersama dengan Amerika Serikat, China dan India. Hal ini tentu hanya bisa "menjadi ada" bila segala faktor penghalangnya "menjadi tiada."

Apakah yang dapat menghalanginya? Bagaimana mengharapkan proyeksi itu menjadi kenyataan, bila ternyata ujaran kebencian, hoax, fitnah dan berita-berita bohong yang dapat mengganggu stabilitas, keamanan dan ketertiban negara tetap menjadi konsumsi kegemaran masyarakat kita? Sudah jamak dipahami, bahwa pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh stabilitas, keamanan dan ketertiban.

Jadi, sangat jelas fakta yang akan terpampang di depan mata, serta harga yang harus dibayar bila ternyata semangat kebangsaan yang sudah berusia lebih seabad itu ternyata tidak sebanding dengan kematangan dan kedewasaan kita sebagai bangsa. Lihat saja misalnya negara-negara yang telah dan saat ini sedang mengalami riak-riak bahkan bergejolak, Yunani, Perancis, Inggris, Venezuela dan beberapa negara di Timur Tengah.

Tidak jarang, disorientasi, distrust, disobedience, dan disintegrasi yang terjadi, mula-mula dipicu oleh masalah-masalah politik, lalu merembet ke masalah stabilitas, keamanan dan ketertiban, lalu menjadi krisis ekonomi, bahkan menjadi krisis kemanusiaan. Bilamana hal itu terjadi, tiada guna lagi sekuat apa pun kita saling menyalahkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline