Lihat ke Halaman Asli

Teopilus Tarigan

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Kembali ke Desa, Membunuh "Agony" di Akhir Pekan

Diperbarui: 19 Januari 2019   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kolam Ikan di Desa Semangat, Kec. Barusjahe, Tanah Karo (dokpri)

Agony adalah sebuah kata dalam bahasa Inggris, yang berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti: 1. nyeri sekali, penderitaan yang mendalam, 2. kesakitan, 3. perjuangan bersusah payah. 

Biasa terjadi, dalam menjalani rutinitas keseharian yang cenderung monoton, terjadi ketegangan, stress, yang menyebabkan perasaan resah yang berlebihan.

Terkadang, saat bangun pagi dan mengetahui akan kembali melakoni kegiatan yang itu-itu lagi, apalagi menghadapi masalah yang itu lagi-itu lagi, langsung terasa seperti perut mulas dan muak. Rasanya, enggan sekali untuk menjejakkan kaki menjalani rutinitas yang monoton itu.

Tapi, itulah hidup. Sejatinya, bekerja adalah hakikat hidup manusia. Bekerja seharusnya bukan menjadi beban. Bekerja adalah wadah aktualisasi diri, karena itu orang yang mampu mencapai keutuhan aktualisasi diri lewat pekerjaan disebut golongan pemuncak, peaker, sebagaimana Maslow menempatkan aktualisasi diri sebagai kebutuhan puncak di piramida kebutuhan. Bekerja adalah sarana untuk mencukupi kebutuhan hidup, karenanya ada pandangan bahwa orang yang tidak bekerja, selayaknya tidak mendapatkan makanan.

Tidak menjadi masalah apa yang dikerjakan, sepanjang tidak melanggar norma hukum, sosial dan agama. Karena itu, sebagian bahkan memandang bahwa bekerja adalah ibadah. Tapi, selalu saja ada rasa agony dalam bekerja. Tidak selalu pekerjaan memberikan kepuasan, mencukupi kebutuhan, dan memberikan ketentraman batin.

Kalau hidup berarti bekerja, sehingga berhenti bekerja sama artinya dengan berhenti hidup, lalu apa yang dapat dilakukan untuk membunuh perasaan agony dalam dunia pekerjaan, agar hidup terus berlanjut?

Biasa juga terjadi, bahwa saat senja hari, apalagi waktu di akhir pekan, adalah waktu-waktu yang memberikan perasaan penuh bahagia, sebuah rasa suka cita yang melambungkan perasaan.

Seandainya, setiap hari bisa berasa akhir pekan. Tentu saja tidak mungkin, karena hidup adalah kenyataan. Kalaupun ada orang yang mampu merasakan kenyataan hidup yang demikian, barangkali mereka adalah golongan para pemuncak, yang tentu saja jumlahnya lebih sedikit dari yang bukan. Karena itu, semakin ke puncak, piramida bentuknya semakin mengkerucut. Itupun sebuah kenyataan.

Menyadari bahwa kenyataan tak bisa dihindari, maka paling baik adalah menghadapi dengan tegak kenyataan hidup. Senyata kenyataan bahwa akhir pekan hanya sekali di ujung hari-hari sepekan, maka tidak ada salahnya menggunakan kesempatan akhir pekan yang berharga dengan sebaik-baiknya.

Mungkin ada banyak pilihan kegiatan berguna untuk mengisi akhir pekan. Bagi sebagian pekerjaan atau profesi, bahkan akhir pekan adalah waktu puncak untuk bekerja. Misalnya, pendeta yang harus memimpin ibadah-ibadah kebaktian, petugas taman hiburan, penjaga keamanan, dan lain sebagainya. Tentu mereka harus melakukan penyesuaian, untuk mendefinisikan sendiri arti akhir pekan.

Bagi saya pribadi, pergi ke desa-desa di akhir pekan, apalagi bersama keluarga atau teman, adalah sebuah kesempatan emas untuk membunuh agony. Ya, membunuh agony di akhir pekan dalam suasana segar alam pedesaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline