Lihat ke Halaman Asli

Ketika Tidak Berlayar Lagi dan Jadi Pelaut Senior

Diperbarui: 31 Mei 2016   03:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pelaut Senior Berbagi Memori Tahun 1991an.

Di tahun 1991 setelah saya kembali pulang dari Miami, Florida, Amerika Serikat, akibat kecelakaan kerja di kapal pesiar SS Atlantic milik Premier Cruis Lines (PCL) yang manning agencynya untuk crew Indonesia adalah PT Panatra Damas pimpinan Mas Thulik Sukiran dan usai setlement dengan kuasa hukum PCL. Bersama Mas Booby bikin usaha tapi tidak jalan, karena apa? Karena pelaut itu tahunya yah kerja, terima gaji, dan kerja lagi. Sehingga yang namanya bisnis yang konon disebut-sebut berciri animal itu yah enggak ngerti apa-apa.

Duit hasil menggugatpun ludes yang kata sahabat di Angkatan 1966 itu bilang, Teddy itu sakit jika enggak kasih duit sama teman. Teman sedang duduk sendirian di Kantor YPPI di Raden Saleh saja waktu itu, setelah dia basa-basi sama temannya itu, lalu kasih duit untuk transport kawan sesama Angkatan 1966. Padahal kawan itu tidak memintanya. Terkadang berlebihan juga kepedulian pelaut sama kawan. Orang enggak minta malah di kasih, untungnya teman ini enggak tersinggung.

Ada nama komisaris di perusahaan PT Indonesia Enterprise yang berkantor di Jl. Tebet Barat Raya, Jakarta Selatan, Pak Utomo, namanya. Karena dosen di SESKOAL lalu obrol-obrol tentang jati diri pelaut.

Menurut Pak Utomo, pelaut itu pekerja profesional seperti dokter, advokat, dan profesi lainnya. Tapi yang membedakan, pekerjaan pelaut itu dikapal yang terikat kontrak kerja dan tempatnya berubah-rubah sesuai dengan jadwal pelayaran. Ditambah lagi untuk memenuhi permintaan pelaut yang berjumlah besar, maka dikaitkanlah dengan status Tenaga Kerja. Jika bekerja di kapal-kapal asing diluar negeri, maka berstatus TKI.

Namun organisasi pelaut untuk membedakan antara profesional dan pekerja biasa, maka didepan nama organisasi Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) tidak ada embel-embel nama Federasi Serikat Pekarja atau Konfederasi Serikat Pekerja seperti menjadi singkatan FSPKPI atau KSPKPI. Tapi, cukup KPI.

Profesional pelaut juga ditenggarai dengan kepemilikan berbagai ragam dokumen dari yang sejak awal memiliki Seamen Book dan BST, sampai ke macam ragam sertifikat klasifikasi jabatannya. Mungkin hanya pelaut saja yang memiliki segudang dokumen yang konon demi memenuhi berbagai konvensi internasional.

Artinya, profesi dokter atau advokat tidaklah sebanyak dokumen yang harus dimiliki oleh pelaut apapun tingkat dan jabatannya. Malah dan mungkin, lebih banyak dana yang dikeluarkan dan tidak sedikit. Pasalnya, untuk mendapatkan setiap dokumen berbiaya mahal, tidaklah murah. Bahkan ironisnya, ada yang jadi korban pencaloan.

Yang jutsru menarik dari obrolan dengan Pak Utomo adalah bahwa hanya profesi pelautlah yang dalam jati dirinya memiliki KSAO secara utuh.KSAO itu singkatan dari Knowledge, Skill, Attitude and Others. Di kapal dimana menjadi ruang kerja setiap profesi pelaut, tanpa memiliki KSAO mustahil kapal sejak meninggalkan pelabuhan sampai ke pelabuhan tujuan, tercapai tujuan sesuai tugas dari owners kapal.

Di kapal pun, mesti tidur karena habis kerja atau habis jaga, tetap standby 24 jam untuk selalu siap jika terjadi kecelakaan atau kebakaran kapal. Semua ini tidak ada pada profesi lainnya. Sebab itu, kami, Pelaut Senior, berulang kali sebutkan, bahwa sesama pelaut itu adalah sesama insan yang tergolong senasib dan sepanggungan. Terkecuali bagi mereka yang hanya sekedar ingin jadi pelaut dulu baru duduk dikantor karena ada diploma sekolah tingginya. Tragisnya setelah duduk di kantor, tak lagi mengenal jati dirinya sebagai bekas pelaut.

Jadi, menurut kami, Pelaut Senior, sungguh, Pelaut lah yang menjadi insan pekerja yang lengkap dan sempurna. Ironisnya lagi, memang, jika saja terdahulu para owners kapal Belanda yang bekas menjajah negeri kita begitu saling menghargai dan membutuhkan Pelaut Indonesia bekerja di kapal-kapalnya seperti NedLloyd, HAL, Shell Tankers dan lainnya, tapi oleh pengusaha perkapalan niaga nasionalnya sendiri tidak dihargai, malah berbalik seperti jaman penjajahan dimana pelaut di posisikan sebagai “Jongos-Jongos”nya (mengutip kata-kata bijak Bung Karno) perusahaan perkapalan niaga nasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline