Selepas ziarah ke pemakaman Old Protestant Cemetery, saya kembali ke Praca de Luiz Camoes. Hari kian menjelang senja. Di tempat ini, banyak sekali penduduk Macau yang sedang bersantai. Tua, muda, maupun anak-anak. Para lansia sebagian sedang asyik bermain catur gajah, ada juga yang berolahraga, dan anak-anak bahkan sedang bermain bulutangkis.
Di sudut taman, terdapat pintu gerbang bertuliskan Fundacao Oriente. Saya sempat mengintip sebentar, ternyata sebuah bangunan tua berarsitektur klasik khas Macau dengan halamannya yang luas. Sekilas gabungan warna puth pucat dan dadu memberikan kesan ketuaan dan sekaligus kecantikan bangunan kuno ini.
Kembali ke Praca de Luiz Camoes, deretan kursi rapih berjejer di dekat pagar. Di jeruji yang berwarna hijau tua, tergantung beberapa sangkar burung yang membuat lapangan ini seperti pasar di Jalan Pramuka, Jakarta. Seorang lelaki berusia 50 tahunan, berdiri sambil memegang memegang sangkar berwarna coklat, berkacamata, memakai sweater warna abu-abu biru dan celana jin biru muda. Mulutnya bersiul-siul menyanyikan lagu buat sang burung.
Saya kemudian masuk melalui pintu pagar ke taman yang disebut Camoes Garden. Bunga warna merah terhampat di pot dan taman-taman kecil. Di sekeliling taman, bertebaran aneka jenis peralatan olah raga dan senam dengan warna yang cerah: merah, biru, kuning, dan oranye. Di kursi-kursi kayu, ramai orang duduk sambil bercengkerama. Selain lansia, banyak juga anak-anak berusia di bawah sepuluh tahunan.
Di tengah-tengah taman, terdapat sebuah monumen dengan pola pepohonan yang lumayan tingginya. Ini adalah monumen atau patung dari perunggu yang diberi nama “Pelukan” yang merupakan simbol persahabatan Cina dan Portugal. Air mancur kecil menambah manis monumen ini. Tambahan bebungaan warna merah, kuning, dan pink serta pohon cemara berbentuk kerucut membuat suasana Camoes Garden menjadi lebih santai Apalagi dengan hembusan angin sepoi-sepoi di udara sejuk kota Macau di akhir Desember.
Sebuah tangga besar dan lebar, dengan hiasan bunga warna merah tua dan merah hati di tengahnya serta ukiran di batu mengingatkan saya akan megahnya Istana Kota Terlarang di Beijing, nun jauh di utara sana. Puluhan anak tangga dengan gradasi yang landai membuat kita nyaman menapakinya.
“O Sabio Por Excelencia , O seu talento e as suas virtudes ultrapassam os dos homens, Por inveja passou dificuldades” beberapa baris kata-kata dalam Bahasa Portugis ada disebuah prasasti batu. Isinya menyatakan puji-pujian akan kebijaksanaan dan dan pengetahuan yang melebihi orang kebanyakan.
Puisi ini yang ternyata merupakan karangan L Rienzi pada 1829 yang ditutup dengan kata-kata “erigiu se este monumento para que sua fama fosse transmitada a posteridade” yang artinya bahwa monumen ini didirikan supaya ketenarannya terpancar hingga tujuh turunan.
“Comemoracaoes do iv centenario da publicacao de os lusiadas 10 de junho de 1972”, demikian tertera di bagian bawah prasasti yang menyatakan bahwa prasasti ini dibuat pada 10 Juni 1972 dan dibangun untuk memperingati 400 tahun di terbitkannya karya Camoes yang paling terkenal yaitu “Os Luciadas”. Os Lusiadas sendiri sering diterjemahkan sebagai The Soul of Portugal”.
Tidak jauh dari prasasti ini, di grotto, atau gua yang didedikasikan buat Luiz Camoes ini terdapat patung dada sang penyair paling terkenal dalam sejarah bangsa Portugis. Luiz Camoes demikian nama yang terukir di bawah patung dada. Nama ini diapit tahun kelahiran dan kematiannya sebagaimana tertulis dalam bahasa Portugis “Nasceu 1524 dan Morreo 1580”
Bagi bangasa Portugis, Luiz Camoes adalah pujangga yang bisa disetarakan dengan Shakespeare bagi orang Inggris atau Homer bagi orang Yunana dan Cervantes bagi orang Sepanyol. Beliau begitu terkenal dan disanjung sehingga bahasa Portugis sendiri kadang-kadang dijuluki Bahasa Camoes.
Kisah hidup Luiz Camoes penuh dengan drama dan petualangan. Mata kanannya menjadi buta sewaktu pertemuran dengan orang Morros di selatan Maroko pada sekitar 1549. Dia kemudian kembali ke Lisboa untuk akhirnya kemudiaan berangkat ke India pada 1553. Nasib kemudian membawanya ke timur jauh, yaitu koloni Portugis di Macau ini pada sekitar pertengahan dasawarsa 1550 an.
Selama sekitar dua tahun di Macau inilah mahakarya Os Luciadas ditulis. Puisi yang bisa dibandingkan dengan Illyadnya Homer ini terdiri dari 10 Canto dan kalau ditotal memiliki 8816 baris. Ceritanya adalah kisah epik kepahlawanan bangsa Portugis yang mengarungi dunia dan samudra pada sekitar abad ke 15 dan 16.
Masih di Grotto atau gua Camoes ini, tepat di bawah patung dada sang pujangga diukir nukilan Canto I dari Os Luciadas.
“As armas e os barões assinalados,