Lihat ke Halaman Asli

Taufik Ikhsan

Ras Manusia

Secangkir Kopi: Membuka Perasaan Melihat Diri Sendiri

Diperbarui: 6 September 2020   22:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

Saya bukan penikmat kopi, sama seperti sebagian penduduk di planet ini. Ini kopi Malang yang saya bawa lebih dari setahun lalu. Sampai sekarang, hanya berkurang setengah. Kapabilitas kognitif saya tidak peka dan mampu untuk mengidentifikasi enak atau tidaknya kopi dari aroma. Dan kemampuan decision making saya tidak sanggup untuk merekomendasikan jenis kopi tertentu untuk anda nikmati. Dari semua kesempatan momen 'nongkrong' dengan teman, cangkir kopi saya pasti habis duluan dalam lima menit pertama. Kopi bagi saya seperti pejabat yang memberikan kata pengantar di sebuah acara, ucapannya penting, tapi ingin sekali segera diakhiri.

Sewaktu masih di perusahaan, sekitar sepuluh tahun lalu, dalam satu meeting saya bilang ke manager "saya tidak minum kopi, badan saya resistant ke kopi!". Lalu dia bilang "sayang sekali, kamu kehilangan salah satu kenikmatan dunia!". Waktu itu, ucapan dia tidak berarti apa-apa untuk saya. Saya tidak akan menyesal walau sampai mati, saya tidak pernah minum kopi. Jika pun ada kesempatan untuk reinkarnasi, tentu alasan saya bukan karena ingin minum kopi.

Tapi, sudahkah kamu tau jika frasa "manusia bisa berubah!" bukanlah hal yang biasa?!

Mungkin kamu mengira jika kalimat ini adalah awalan dari sebuah plot twist?! Emm, saya bisa bilang kamu benar, walau perubahan itu tidak se-drastis di film pendek. Dua paragraf pertama adalah apa yang saya alami sebelum bulan ini dan sebelum saya mencoba benar-benar menikmati kopi yang ada di foto. Kopi itu adalah satu-satunya barang edible yang tersisa yang saya bawa sewaktu berangkat ke Amerika sekitar lebih dari setahun lalu. Itupun saya temukan masih didalam koper, ketika saya beres-beres lemari diawal tahun ini.

Professor dan beberapa teman disini sering sekali bertanya ke saya "kamu sudah minum kopi pagi ini?". Bahkan ketika meeting pagi, sekitar jam 9, hampir semua membawa tumbler kecil atau cangkir, yang isinya pasti kopi. Percakapan dalam meeting, hampir selalu, dimulai dengan cerita yang didalamnya ada adegan mereka membuat kopi. Bahkan, mereka selalu bicara tentang betapa mereka selalu mendapat energi lebih ketika sudah menyeruput kopi pertama mereka di hari tersebut. Sepertinya dari budaya itu saya mulai tertarik menemukan jawaban dari pertanyaan "apa sih spesialnya kopi?".

Kombinasi pesimis dan apatis bukan selalu hal yang buruk jika kita masih punya "semangat buat belajar". Saya bukan orang yang percaya dengan ucapan "mulainya aja begini, gimana nantinya!". Sama halnya dengan kopi, intensitas meminum kopi di pagi hari saya mulai dengan perasaan-perasaan tadi. Perasaan biasa-biasa saja pun muncul. Saya tidak merasa ada penambahan energi atau inspirasi yang begitu spesial dari kebiasaan minum kopi di pagi hari. Malah, saya jadi punya tambahan gelas kotor untuk dicuci.

Saya penasaran, apa salah pilih kopi? Atau takaran gula dan kopinya? cara ngaduknya? Airnya kurang panas? Jujur saja, walaupun saya suka warna hitam. Tapi untuk makanan dan minuman, warna hitam kurang menarik jika dibandingkan dengan warna lain dalam minuman atau makanan. Seperti merah, asosiasi kita pada rasa pedas. Kuning-keemas-emasan pada rasa gurih. Hijau yang selalu menyehatkan. Sementara hitam?! Hampir dua minggu dan saya tidak menemukan inspirasi apapun! Entahlah! Selama tidak terjadi apa-apa yang berbahaya untuk fisik, saya coba lanjutkan minum kopi di pagi hari.

Pada suatu pagi, ketika mengaduk kopi, gerakan air berwarna gelap itu membawa saya pada suatu malam di kaki Gunung Semeru sepuluh tahun lalu. Di malam itu saya dengan beberapa teman liburan di rumah teman di Ampelgading, Kab, Malang. Kira-kira, kami sampai di rumah teman tersebut sekitar jam 9 malam, perjalanan yang mengerikan. Banyangkan saja, selama dua pertiga perjalanan, lampu depan di motor kami tidak menyala dan jarang sekali ada lampu jalan di rute Kota Malang -- Ampelgading sewaktu itu. Cahaya yang kami andalkan hanya dua motor teman di depan kami. Alhamdulillah perjalanan kami lalui dengan selamat, walau cemas selalu berkecamuk sepanjang perjalanan.

Sesampainya di rumah teman, kami langsung disuguhi beberapa cangkir kopi khas kebun sendiri. Kalau kamu googling, Kec. Ampelgading terkenal sebagai potensi alam kopi dan cengkeh di Jawa Timur, juga tidak lupa kambing. Saya langsung berpikir, wah gimana mau tidur kalau selarut ini minum kopi. Tapi karena sudah disuguhkan, saya pun meminumnya. Lagi-lagi, karena saya bukan penikmat kopi, walaupun biji kopinya dari kebun sendiri, saya tidak tau kalau itu enak atau tidak. Namun, yang saya tau, malam itu saya tidur dengan cepat dan lelap. Dan di pagi hari, pegal-pegal sisa perjalan tadi malam, tidak saya rasakan lagi.

Pagi harinya pun begitu, kami Kembali disuguhkan beberapa cangkir kopi. Yang berbeda adalah, kami menikmati kopi panas tadi di teras depan rumah sambil memandang kaki gunung semeru yang masih diselimuti kabut. Bias keemasan Mentari perlahan merasuk kabut putih, memberikan kami pemandangan yang tidak biasa. Perjalanan yang melelahkan dan menegangkan tadi malam tidak sia-sia, pemandangan ini sunggu menakjubkan. Seindah-indahnya lukisan dalam kanvas bahkan tidak sanggup mewakili setitik kekaguman saya pada momen ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline